Plastik telah menjadi musuh utama dalam hal pencemaran lingkungan dan telah disadari oleh hampir seluruh masyarakat dunia. Di sisi lain, penggunaannya banyak dibutuhkan dalam berbagai kegiatan sehari-hari salah satunya dalam berbelanja. Sebagai solusi, akhirnya kini mulai dihadirkan pilihan alternatif berupa tas belanja atau ecobag.
Tas belanja saat awal kemunculannya dinilai dapat menjadi solusi paling tepat, karena berbahan kain dan dapat digunakan secara berulang kali. Layaknya pakaian, jika kotor kantung belanja berbahan kain dapat dicuci hingga bersih dan terus digunakan jauh lebih lama dibanding plastik.
Kekinian, gerakan penggantian plastik dengan tas belanja belanja rupanya memunculkan keresahan baru. Tujuan penggunaan tas belanja akhirnya berujung dengan keberadaan tas yang selalu dibeli setiap berbelanja, dan menumpuk di rumah.
Bagaimana kondisi tersebut bisa terjadi dan adakah dampak yang lebih serius dari meningkatnya tas belanja tak terpakai?
1. Gerakan penggunaan tas belanja di Indonesia
Meski cukup telat masuk dan digunakan secara massal di Indonesia, tas kantong belanja atau yang dikenal dengan istilah ecobag sebenarnya bukan hal baru secara global. Produk ecobag atau tas belanja pertama kali dipelopori oleh Sharon Rowe, seorang perempuan asal Jerman pada kisaran tahun 1989.
Saat itu tujuannya adalah untuk menghadirikan solusi pencemaran akibat kantong plastik yang telah diandalkan sejak pertama kali ditemukan tahun 1959.
“Memproduksi tas yang dibuat secara bertanggung jawab dengan harga terjangkau, sehingga dapat digunakan kembali menjadi gaya hidup”. Kurang lebih begitu tujuan dari Sharon saat pertama kali menghadirkan ide kemunculan ecobag.
Waktu itu tujuan dari penggunaan ecobag bukan hanya saat berbelanja, melainkan juga untuk ‘mengangkut’ berbagai benda lain agar lebih mudah. Di Indonesia, praktik penggunaan ecobag sendiri nyatanya belum terlalu lama.
Pada tahun 2009 misalnya, ditemukan fakta bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya sudah tahu akan masalah yang ditimbulkan oleh kantong plastik. Tapi di saat bersamaan, mereka belum memiliki kesadaran untuk mengatasi hal tersebut.
Dikatakan bahwa 63 persen orang lupa bahwa mereka sudah memiliki tas daur ulang (ecobag), atau lupa memakainya saat belanja. Sedangkan 15 persen responden lainnya mengaku malas untuk membawa tas sendiri saat sedang berbelanja.
Hal tersebut terungkap berdasarkan sebuah survei lingkungan yang dilakukan komunitas Gerakan Diet kantong plastik saat itu.
“Mereka sudah tahu masalahnya, tapi belum tergerak dan berpartisipasi aktif untuk mengatasinya.” ungkap Rahyang Nusantara dari Gerakan Diet Plastik, dalam Kompas.com.
Pun jika penggunaan kantong belanja dari kain sudah banyak, penggunaannya justru dapat dikatakan cukup melenceng dari tujuan. Apa maksudnya?
2. Berakhir sekali pakai
Say no to plastic, they said pic.twitter.com/bwNCVN3j9B
— Adriansyah Yasin Sulaeman (@adriansyahyasin) September 10, 2022
Mungkin tidak semuanya, tapi sebagian besar yang dialami oleh kebanyakan orang pada tas atau kantong belanja berakhir hanya digunakan sekali, dan menumpuk di rumah.
Kondisi ini rupanya masih berkaitan dengan fakta di atas, yang mengungkap bahwa ada segelintir masyarakat yang malas membawa tas sendiri saat berbelanja. Pada akhirnya, setiap berbelanja mereka bukan membawa tas yang sudah ada melainkan membeli kembali tas baru.
Bukan hanya itu, faktor lain yang juga semakin meningkatkan distribusi atau beredarnya tas kain di masyarakat adalah mengenai layanan delivery. Seperti yang diketahui, saat ini layanan pesan antar khususnya pada restoran cepat saji cukup diandalkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dalam praktiknya, setiap restoran cepat saja atau jajanan pada layanan pesan antar otomatis menyertakan pengemasan dengan kantong berbahan kain yang masuk dalam tagihan. Sehingga mau tidak mau, pada setiap pesanan online yang terjadi setiap harinya, ada ribuan kantong belanja kain yang digunakan dari ratusan bahkan ribuan restoran tersebut.
Kondisi itu yang secara langsung menghilangkan tujuan utama atau fungsi awal dari diubahnya gerakan perubahan, dari kantong plastik ke tas belanja kain.
3. Fakta produksi tas belanja kain dan limbah kain
Terlihat sepele, tapi sebenarnya ada hal penting yang perlu dipahami dalam proses pembuatan tas belanja kain. Faktanya, tas belanja atau task ain yang selama ini fungsinya dapat digunakan berkali-kali membutuhkan lebih banyak energi untuk diproduksi daripada tas belanja plastik biasa.
Disebutkan bahwa energi yang dibutuhkan dalam proses produksi satu tas atau kantong kain setara dengan produksi sebanyak 28 kantong plastik atau delapan kantong kertas.
Karena itu, sebenarnya penggunaan dari tas kain sendiri harus lebih lama dari yang diperkirakan. Menurut riset oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Pangan Denmark, ternyata satu buah tas belanja kain harus melewati sebanyak 20 ribu kali pemakaian agar bisa sepadan dengan proses produksi yang dilalui.
Terbayang,berapa besar energi yang terbuang jika dari ribuan bahkan jutaan task ain yang saat ini beredar di Indonesia, hanya berakhir dengan satu kali pakai. Pada akhirnya masalah peningkatan limbah kain yang akan dihadapi.
Sekadar gambaran, meski saat ini kondisi limbah kain belum setinggi limbah plastik namun keberadaannya juga tak bisa dianggap sepele. Per tahun 2021 misalnya, limbah kain Indonesia mencapai angka 2,3 juta ton, atau sekitar 12 persen dari limbah rumah tangga.