Tepat di hari ini, setiap tanggal 2 Februari masyarakat dunia tengah memperingati upaya pelestarian salah satu ekosistem yang memiliki peran besar dalam hal menjaga keseimbangan iklim, yakni lahan basah.
Diresmikan pada tahun 1996, Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day) pertama kali dirayakan secara serentak oleh sekitar 172 negara anggota Konvensi Ramsar–termasuk Indonesia pada tahun 1997, dan mengharuskan para negara anggotanya berkomitmen untuk melakukan langkah-langkah perlindungan terhadap lahan basah serta memanfaatkannya secara bijak.
Jika didefinisikan secara sederhana, lahan basah sendiri merujuk pada suatu area yang menjadi lokasi dari tanah jenuh, dan memiliki karakteristik mulai dari lembap, berair, hingga menimbulkan genangan air baik yang sifatnya sementara atau permanen.
Sementara itu jika bicara mengenai manfaatnya, lahan basah berperan besar sebagai sumber sekaligus pemurni air, habitat bagi keanekaragaman hayati, hingga tameng sebagai objek mitigasi dalam berbagai potensi bencana layaknya banjir, tsunami, kekeringan, dan lain sebagainya.
Lahan basah di Indonesia yang didominasi gambut

Menyorot jenisnya, di Indonesia sendiri terdapat ragam lahan basah yang dapat ditemui baik dalam bentuk alami atau buatan, mulai dari rawa, bakau, mangrove, gambut, sawah, dan tambak.
Menariknya, selama ini jenis yang paling sering tersorot dan lebih banyak mendapat upaya pelestarian paling besar adalah mangrove. Padahal, dibandingkan mangrove yang menurut catatan KKP pada tahun 2021 memiliki luas lahan sekitar 3,36 juta hektare, masih ada jenis lahan basah lainnya yang memiliki total luas paling besar dan berbanding lurus dengan peran pentingnya dalam upaya menjaga fenomena perubahan iklim, yakni lahan gambut.
Seberapa luas total lahan gambut di Indonesia? Jawabannya lebih dari tiga kali lipat lahan mangrove.
Berdasarkan publikasi yang dimuat oleh laman Pantaugambut.id, pada tahun 2005 Wetlands International memperkirakan terdapat sekitar 20,6 juta hektar lahan gambut di Indonesia. Luas tersebut menurun pada tahun 2011, di mana Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian dan Balai Penelitian Tanah yang memperkirakan ada sekitar 14,9 juta hektar lahan gambut di Indonesia.
Lebih detail, dari sekitar 14,9 juta hektar lahan gambut yang dimaksud, 6,4 juta hektar (43 persen) berada di Sumatra, 4,8 juta (32 persen) terletak di Kalimantan, dan 3,7 juta hektar (25 persen) berada di Papua.
Memang, pada kenyataannya saat ini data atau laporan mengenai total luas lahan gambut secara spesifik pasti selalu mengalami perubahan atau bahkan berbeda, karena adanya perbedaan metodologi sekaligus pemetaan yang dilakukan oleh tiap pihak berbeda. Yang jelas, bisa dipastikan jika keberadaan lahan gambut jauh lebih luas dibanding mangrove atau lahan basah lainnya.
Pentingnya memahami karakteristik gambut

Lebih besarnya luas area lahan gambut dibanding mangrove, rupanya diimbangi dengan lebih besar pula risiko kerusakan lingkungan yang dapat ditimbulkan apabila lahan gambut tidak dikelola dengan baik.
Menilik awal mula proses pembentukannya yang sedikit lebih kompleks dibandingkan dengan jenis lahan basah lainnya, gambut terbentuk dari timbunan materi organik yang berasal dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan yang membusuk sejak bertahun-tahun yang lalu.
Karena hal tersebut pula, tak heran jika gambut disebut sebagai lahan basah yang memiliki kandungan organik sangat tinggi. Selama ini, gambut telah berperan besar dalam menyerap karbon dalam jumlah besar yang dihasilkan dari berbagai sampah aktivitas alami lingkungan yang telah disebutkan di atas.
Lain itu, gambut juga dapat menjadi sumber air bersih, dan menyediakan banyak manfaat bagi masyarakat di sekitarnya seperti mencegah kekeringan, banjir, dan pencampuran air asin untuk irigasi di area pertanian.
Jika diklasifikasikan berdasarkan kedalamannya, lahan gambut sendiri dibagi ke dalam empat jenis yakni lahan gambut dangkal dengan kedalaman di kisaran 50-100 cm, sedang dengan ketebalan gambut di kisaran 100-200 cm, gambut dalam dengan ketebalan di angka 200-300 cm, dan terakhir gambut sangat dalam dengan ketebalan lebih dari 300 cm. Berangkat dari perbedaan tersebut dapat disimpulkan jika semakin dalam gambut, maka semakin banyak pula karbon yang tertimbun di dalamnya.
Hal tersebut juga yang nyatanya sewaktu-waktu dapat memberikan dampak berlawanan dalam konotasi negatif jika tidak dikelola dengan baik. Apabila lahan gambut diganggu dalam artian dikeringkan atau dihancurkan, maka kandungan karbon yang ada di dalamnya justru akan terlepas ke udara dan menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca.
Wujud nyata dari praktik pengeringan gambut adalah proses pemadatan, yang lazim dilakukan saat gambut akan digunakan sebagai lahan untuk perkebunan kelapa sawit.