Kejar target energi bersih, kenapa pemasangan PLTS atap dibatasi?

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
PLTS atap (Dok. Kementerian ESDM)

Kementerian ESDM dan PLN dalam kurun waktu 2-3 tahun ke belakang ‘getol’ menggaungkan ajakan pemasangan PLTS atap. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung peningkatan bauran energi berbasis EBT, guna mencapai target transisi energi bersih.

Namun belum lama strategi tersebut berjalan, kini kebijakan baru yang muncul justru bersifat kebalikannya. Alih-alih semakin menggencarkan ajakan pemasangan, PLN justru tiba-tiba membatasi pemasangan PLTS atap.

Kebijakan yang bertolak belakang dari target pencapaian energi bersih tersebut tentu menuai pertanyaan. Terlebih pada kondisi tertentu, kebijakan yang dimaksud dianggap merugikan sejumlah pengusaha dan kontraktor di bidang terkait.

Apa sebenarnya alasan PLN memberlakukan kebijakan tersebut?

1. Kondisi oversupply

PLTS atap (Mohammad Ayudha/Antara)

Sedikit kembali mengingatkan mengenai operasionalnya, pemasangan PLTS atap sendiri selama ini berjalan dengan skema ekspor-impor. Artinya, panel surya yang dipasang oleh setiap bangunan atau rumah dan menghasilkan energi listrik sendiri, akan memasok listrik kepada PLN.

Nantinya, pasokan tersebut juga disalurkan ke berbagai pelanggan lain. Sistem tersebut membuat pelanggan yang memiliki panel surya mendapat keuntungan dari segi tagihan listrik yang lebih murah.

  Baik produsen dan konsumen, kesadaran sustainable fashion di Indonesia kian meningkat

Namun di lain sisi, PLN seperti yang pernah diberitakan juga sedang berada dalam kondisi oversupply pasokan listrik. Kondisi oversupply tersebut yang apabila tidak ditangani dengan seksama berpotensi menimbulkan kerugian besar dari segi materi.

Sebenarnya PLN pernah menyebut jika mereka sudah memiliki cara untuk menangani persoalan tersebut. Dua di antaranya adalah dengan pemanfaatan untuk kendaran listrik dan sebagainya, serta memanfaatkan teknologi penyimpanan berupa energy storage system.

Namun, praktik pembangkit listrik satu ini di saat bersamaan rupanya masih bertabrakan dengan adanya oversupply listrik yang terjadi. Dan pada akhirnya membuat praktik energi bersih masih sulit berkembang di Indonesia. Tidak hanya PLTS, namun juga PLTA, PLTB, dan sejenisnya.

2. Detail pembatasan PLTS atap

PLTS di perkotaan (Aditya Pradana Putra/Antara)

Bicara lebih detail mengenai pembatasan yang dimaksud, diketahui jika pemasangan kapasitas PLTS atap dibatasi menjadi 10-15 persen saja dari kapasitas listrik tersambung. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Irwansyah Putra, selaku General Manager PLN.

Irwan bahkan membuat surat edaran atau memo internal PLN yang menyebut jika sebenarnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2021, belum mengatur secara detail aspek teknis tentang PLTS atap.

  Hari Energi Sedunia, Mengenal 5 negara dengan praktik energi terbarukan paling maju

Sedikit informasi, diketahui jika untuk saat ini kapasitas seluruh PLTS di Indonesia baru sebesar 152 MW. Angka tersebut sangat jauh tertinggal dari negara lain semisal Vietnam, yang sudah memiliki kapasitas energi tenaga surya sebesar 16,5 GW.

Keputusan pembatasan juga dipandang sebagai cara agar masyarakat lebih dulu menggunakan pasokan listrik yang dimiliki PLN. Namun di sisi lain, Indonesia memiliki target untuk mencapai bauran energi bersih sebesar 25 persen pada tahun 2025 mendatang.

3. Kata pengusaha PLTS atap

(Aditya Pradana Putra/Antara)

Seperti yang disebutkan, kebijakan yang berubah dari rencana awal ketentuan pemasangan PLTS atap ini menuai anggapan keberatan bagi pihak tertentu. Salah satunya pengusaha dan kontraktor di bidang terkait.

Keberatan tersebut juga ikut ditanggapi oleh Fabby Tumiwa, selaku Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI). Dirinya meminta agar kebijakan pembatasan 10-15 persen tidak diberlakukan, karena dinilai bisa mempengaruhi target energi terbarukan yang dicanangkan pemerintah.

“PLTS atap komersial dan industri itu salah satu kontributor utama. Jadi, kalau dihambat, menyebabkan target energi terbarukan yang dicanangkan Jokowi bisa gagal tercapai.” ujar Fabby, mengutip Antara.

Di saat bersamaan, ungkapan lain disampaikan Ketua Komite Tetap EBT Kamar Dagang dan Industri Nasional (KADIN), Muhammad Yusrizki. Menurutnya, jika alasan pembatasan adalah dampak terhadap sistem kelistrikan PLN, hal tersebut seharusnya sudah dibahas dan dicari solusinya sebelum Permen ESDM tentang PLTS atap diundangkan.

  Kemiri, sang pengganti sawit untuk bahan baku biodiesel

“Perlu diingat, bahwa Permen ESDM mengenai PLTS atap sudah mengalami beberapa evolusi. Terakhir Permen ESDM 49/2018, dan sebelumnya Permen ESDM 01/2017 Tentang Operasi Paralel. Jadi PLTS atap bukan hal baru lagi bagi Pemerintah dan PLN, maka cukup mengejutkan jika kali ini timbul alasan teknis terkait implementasi,” pungkas Yusrizki, mengutip headtopics.com.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata