Selain dibuat dalam skala besar yang biasanya membutuhkan lahan lapang dan luas, pembangkit listrik nyatanya juga bisa dibuat seringkas mungkin. Adapun yang dimaksud dengan ringkas adalah menerapkannya dalam bentuk PLTS atap.
Menggunakan modul fotovoltaik, panel yang selama ini biasanya hanya dipasang di lahan yang lapang bisa dipasang dan diletakkan pada atap bangunan. Bukan hanya itu, pemasangannya juga bisa dilakukan pada bagian bangunan lain semisal dinding milik konsumen PLN.
Dalam penggunaannya, listrik yang dihasilkan dari PLTS atap akan disalurkan dan tergabung dengan sistem kelistrikan milik PLN.
1. Penggunaan di gedung dan perumahan

Sudah bukan menjadi hal yang terlalu asing, kekinian panel fotovoltaik sudah terlihat banyak digunakan di beberapa bangunan. Terutama di gedung-gedung pencakar langit yang berada di kawasan Jakarta.
Menukil Mongabay Indonesia, guna mendukung target bauran EBT sebesar 23 persen tahun 2025, ada belasan perusahaan di Jakarta yang memasang PLTS atap. Beberapa gedung perusahaan yang dimaksud di antaranya terdiri dari Wisma 77, gedung Tokopedia, Plaza Indonesia, dan masih banyak lagi.
Yang menarik bukan hanya bagi gedung perkantoran semata, namun pemasangan PLTS atap juga sudah banyak diminati untuk cakupan pemukiman di perkotaan. Bahkan di wilayah Tangerang, terdapat pengembang properti yang memasarkan rumah dengan sistem kelistrikan PLTS atap.
Seberpengaruh apa sebenarnya penggunaan PLTS atap, terutama bagi masyarakat jika dilihat dari segi biaya konsumsi listrik?
2. Tagihan listrik bisa lebih hemat

Terlebih dulu harus dipahami, PLTS atap yang terpasang di setiap rumah dalam operasionalnya akan tersambung dengan sistem kelistrikan PLN melalui skema ekspor-impor. Nantinya, akan ada beberapa komponen yang digunakan seperti inverter, sistem pengaman, dan meter kWh ekspor-impor.
Perhitungan ekspor-impor sistem PLTS atap dilakukan dengan melihat nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor, kemudian dikalikan dengan nilai 65 persen. Nilai surplus ekspor kemudian akan diakumulasikan pada bulan berikutnya sebagai kWh pengurang tagihan.
Sederhananya, setiap 1 watt listrik yang dihasilkan PLTS atap akan langsung mengurangi harga listrik PLN maksimal 0,65 watt untuk bulan berikutnya. Sehingga pengguna hanya membayar biaya sisa, ditambah dengan biaya penggunaan listrik dari PLN. Dengan demikian tagihan listrik milik konsumen akan lebih murah.
Sebagai contoh, salah satu bangunan yang saat ini sudah menjalankan skema PLTS atap adalah gedung Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM. Sudah terpasang sejak tahun 2010, disebutkan jika penghematan yang diperoleh dari sistem tersebut mencapai Rp10 juta per bulannya.
3. Prosedur pemasangan PLTS atap

Yang perlu diperhatikan, pemasangan PLTS atap tidak bisa serta merta dilakukan secara instan. Ada beberapa prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi, salah satunya kepemilikan Sertifikat Laik Operasi (SLO) instalasi sistem.
Adapun jika membahas mengenai prosedur, atau langkah yang harus dilakukan jika ingin memasang PLTS atap adalah sebagai berikut:
- Mengajukan permohonan pemasangan PLTS atap ke PLN.
- Evalusasi dan verifikasi PLN terhadap permohonan pemasangan PLTS atap.
- Pemilihan kontraktor atau badan usaha PLTS atap yang akan melakukan pemasangan.
- Pengurusan izin dan sertifikat laik operasi ke PLN setempat.
- Penyediaan dan pemasangan sistem PLTS atap termasuk meter kwh ekspor-impor.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah mengenai berapa biaya yang dibutuhkan jika ada masyarakat yang ingin memasang PLTS atap?
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Berkelanjutan dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut, jika estimasi biaya pemasangan PLTS atap berada di kisaran Rp14 juta sampai Rp25 juta.
Adapun biaya tersebut sudah termasuk biaya pemasangan yang mencakup sistem panel, inverter, kabel, dan lain-lain. Lebih lanjut, Citra menambahkan jika harga tersebut tak bisa dipatok rata.
“Ada yang lebih murah atau bahkan lebih mahal. Biasanya biaya ini termasuk biaya pasangnya, tapi tidak termasuk mengganti kWh meter ekspor-impor yang harganya bervariasi di beberapa wilayah.” ujar Citra, mengutip Katadata.