Masuknya energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi pada tahun 2022 diperkirakan akan turun secara persentase dibandingkan tahun 2021.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana, mengungkapkan pada tahun 2022 hal itu diharapkan mencapai 12,70 persen atau kurang dari pencapaian tahun lalu. Sebagai catatan saja, pada akhir November 2021 lalu, tingkat agregat EBT mencapai 12,73 persen.
Rida juga menjelaskan, penurunan ini disebabkan sejumlah pembangkit berbahan bakar fosil akan mulai beroperasi tahun ini.
“Kenapa turun? Karena tahun ini banyak genset yang redundan. Dari sisi kapasitas (PBT) naik tapi energy mix turun karena PLTU mulai beroperasi,” kata Rida saat jumpa pers kinerja 2021, Selasa (18/1/2022).
Batu bara masih mendominasi
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada November 2021, struktur energi masih didominasi batu bara (65,93 persen), gas (17, 8 persen), BBM/BBN (3,86 persen), dan EBT (12,73 persen).
Tahun ini energi BBM mix (BBN) menargetkan 1,90 persen, gas (16,70 persen), batu bara (68,70 persen), dan EBT (12,70 persen). Kinerja saat ini juga menjadi tantangan karena pemerintah menargetkan untuk mencapai tingkat EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025, lanjut Rida.
Sementara itu, pada Desember 2021, proyek 35 GW telah selesai dan beroperasi komersial melalui 365 unit dengan total kapasitas 11,26 GW. Sebanyak 130 unit lagi dengan total kapasitas 17,78 GW masih dalam tahap pembangunan.
Selanjutnya, 37 unit dengan kapasitas 530 MW telah dikontrak tetapi belum dibangun, 23 unit dengan kapasitas 391 MW dalam tahap pengadaan dan 28 unit dengan kapasitas 5,16 GW masih dalam pembangunan dan fase perencanaan.
Target dan catatan Kementerian ESDM
Kementerian ESDM mencatat kinerja bauran energi baru dan terbarukan (PBT) hanya 168,7 juta barel setara minyak (MBOE), yaitu setara 11,5 persen pada tahun 2021. Kinerja tersebut dinilai masih di bawah target yang ditetapkan dalam Rencana Energi Nasional Bersama (RUEN) sebesar 319,3 juta barel minyak atau 1 ,5 persen. Adapun target pemerintah hingga 2025 mendatang, bauran EBT bisa mencapai 23 persen.
Direktur Jenderal Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, mengatakan bahwa kinerja bauran EBT tahun lalu terus meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yakni mencapai angka 11,2 persen.
“Kinerja EBT tahunan pada 2021 adalah 11,5 persen, jadi naik 0,3 persen dari 11,2 persen pada 2020,” katanya dalam konferensi pers.
Setidaknya, sedikit peningkatan bauran EBT tahun lalu didorong oleh peningkatan penggunaan bahan bakar nabati, peningkatan pembangkit EBT yang terhubung ke jaringan dengan PLN, dan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya di atap (PLTS) di kantor kementerian dan lembaga administratif.
Selain itu, terjadi peningkatan penggunaan gas bumi. Namun pencapaian tersebut diiringi dengan sedikit peningkatan penggunaan energi batu bara dan bahan bakar minyak (BBM).
“Jadi, sementara kinerja kumulatif bauran EBT saat ini 11,5 persen, masih jauh di bawah target RUEN tahun 2021 yang sebesar 14,5 persen. Sedangkan tahun 2022 targetnya 15,7 persen,” jelas Dadan.
Menurut Dadan, target tersebut tidak tercapai karena tahun lalu masih dalam masa pandemi Covid-19, sehingga pengoperasian beberapa proyek EBT tertunda karena Commercial Operation Date (COD) yang tidak bisa dilakukan pada tahun 2021.
” Untuk energi panas bumi, misalnya, ini terjadi, dan untuk beberapa PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) terjadi,” tambahnya.
Selain itu, rendahnya kinerja bauran EBT juga didorong oleh tingginya tujuan yang ditetapkan dalam RUEN.
Dadan mengatakan, target RUEN disusun dengan perkiraan pertumbuhan energi yang cukup tinggi, namun pencapaian konsumsi energi tidak setinggi yang diharapkan.
“Inilah sebabnya pencapaian EBT masih lebih rendah dari target RUEN, karena pada kenyataannya kebutuhan energi tidak setinggi target RUEN,” kata Dadan.
Namun, dia meyakinkan pemerintah akan terus mempercepat peningkatan rasio bauran EBT untuk mencapai target 23 persen pada 2025. Upaya itu dilakukan dengan mendorong penyelesaian revisi Perpres mengenai harga EBT.
Kemudian, dengan pelaksanaan Kementerian ESDM di atap PLTS, melalui kewajiban penggunaan bahan bakar nabati, pemberian insentif pajak dan bukan pajak untuk PBT, pemberian izin usaha. Dan mendorong permintaan energi berbasis listrik, seperti kendaraan listrik dan kompor listrik.