Salah satu hal yang paling disorot dari kehadiran Indonesia dari COP27 adalah hasil yang dibawa sepulang dari konferensi tersebut. Terungkap, jika ternyata Indonesia berhasil mengantongi komitmen pendanaan lingkungan hingga ratusan triliun.
Kabar tersebut jika dilihat sekilas jelas nampak mengagumkan. Karena setidaknya Indonesia dipercaya untuk menangani persoalan krisis iklim lewat berbagai program yang ‘dimodali’ oleh sejumlah pihak.
Tapi di sisi lain, rupanya ada segelintir pandangan yang merasa jika gembar-gembor pendanaan ini hanya upaya greenwashing semata. Banyak juga sejumlah kalangan terutama dari bidang pemerhati lingkungan dan aktivis yang mempertanyakan ke mana saja aliran dana tersebut.
Ditambah lagi dengan pertanyaan mengenai apa hasil program yang diperoleh, yang bisa dirasakan secara nyata oleh masyarakat.
Seperti apa keresahan mengenai tudingan greenwashing ini muncul, dan seberapa besar sebenarnya komitmen pendaan lingkungan yang diraup Indonesia dari COP27?
1. Hujan pendanaan untuk RI

Jika dilhat secara total atau keseluruhan laporan pendanaan yang terungkap ke publik, nominal komitmen pendanaan lingkungan yang didapat memang tak main-main.
Pada awal pelaksanaan COP27 saja misalnya, hingga hari ke-4, dilaporkan jika setidaknya Indonesia sudah mengantongi komitmen pendanaan hingga Rp6,3 triliun. Itu baru yang diperoleh dari Bank Dunia dan himpunan lembaga keuangan asal Eropa, yang ingin membayar komitmen loss and damage fund akibat hasil emisi karbon mereka.
Namun tak berhenti sampai di situ, nominal jauh lebih besar nyatanya masih terus dikantongi. Salah satunya dari lembaga multilateral Global Environment Facility, yang menyuntik dana senilai 100 juta dolar AS, atau setara Rp1,5 triliun.
Dana tersebut rencananya akan diberikan dalam kurun waktu empat tahun ke depan, yang dialokasikan untuk proyek biodiversitas dan perubahan iklim.
Rodriguez selaku perwakilan dari lembaga terkait, bahkan terang-terangan menyebut jika Indonesia menerima dana lebih besar dibanding negara lainnya.
“Indonesia akan menerima dana hibah paling banyak. Bahkan lebih tinggi dari Cina, Brasil, dan India,” ujarnya kepada wartawan, di sela-sela agenda COP27, pada Senin (14/11/2022), mengutip Katadata.
2. Ratusan triliun dari program JETP

Nominal di atas ternyata belum ada apa-apanya, komitmen pendanaan dengan nominal lebih besar mencapai ratusan triliun juga diperoleh Indonesia. Kali ini komitmen tersebut datang dari program Just Energy Transition Partnership (JETP), dengan nominal sekitar Rp310 triliun.
Untuk diketahui, JETP sendiri merupakan program kemitraan transisi energi yang akan berjalan untunk tiga sampai lima tahun ke depan.
Berasal dari inisiasi kelompok G7 yang diinisiasi oleh AS dan Jepang, bahkan disebutkan juga jika pendanaan ini termasuk pendanaan iklim terbesar yang pernah ada.
“JETP Indonesia dirumuskan dalam lebih dari satu tahun, mungkin merupakan satu-satunya kemitraan pendanaan iklim terbesar yang pernah ada,” ujar salah seorang pejabat Departemen Keuangan AS, mengutip pemberitaan Reuters.
Salah satu program dan target utamanya, Indonesia diharuskan untuk membatasi emisi karbon pada sektor kelistrikan sebesar 290 juta ton pada 2030.
3. Benarkah hanya upaya greenwashing?

Dari sederet pendanaan tersebut, sayangnya muncul pertanyaan mengenai kemungkinan jika gembar-gembor yang diumumkan hanya upaya greenwashing.
Bukan tanpa alasan, ada beberapa hal yang membuat anggapan tersebut muncul. Pertama dari segi kepastian komitmen, di mana pada tahun sebelum ini nyatanya sejumlah negara maju yang berjanji memberikan dana ternyata tidak memenuhi komitmennya.
Pun jika ada dana yang tersalurkan, ternyata tidak sampai setengahnya yang benar-benar mengalir ke program penanganan krisis iklim. Lalu ke mana sisanya?
Keresahan mengenai hal ini rupanya sudah terbukti, dari hasil penelusuran dan audit yang dilakukan oleh lembaga Oxfam.
Mengambil contoh dari yang sudah-sudah, Bank Dunia pada tahun 2020 menyebut telah mengalirkan komitmen pendanaan iklimh hingga 17,2 miliar dolar AS atau setara Rp269 triliun. Tapi ternyata dari hasil audit, sekitar 7 miliar dolar AS-nya tidak dapat dipertanggungjawabkan programnya.
Akibat temuan tersebut, Nafkote Dabi selaku kepala kebijakan iklim internasional Oxfam mengatakan, jika selama ini para pemberi dana penanganan iklim hanya melebih-lebihkan kondisi yang sebenarnya.
“Kekhawatiran kami adalah skenario terburuknya–bahwa bank dapat secara signifikan melebih-lebihkan kontribusinya,” ujar Dabi.
Bukan tanpa alasan, jika pada akhirnya spekulasi mengenai adanya praktik greenwashing di balik gembar-gembor pendanaan lingkungan muncul di kalangan publik.
“Audit ini mengungkap bahaya bahwa beberapa klaim pendanaan iklim bisa jadi merupakan greenwashing,” ujar Dabi lagi.