Babiat Sitelpang, legenda harimau yang dipanggil Ompung oleh Orang Batak

Babiat Sitelpang, legenda harimau yang dipanggil Ompung oleh Orang Batak – Bagi suku Batak, harimau sumatra (Phanthera tigris sumatrae) tidak hanya diperlakukan sebagai hewan liar. Spesies ini mendapat penghormatan yang sangat tinggi. Di desa-desa yang dekat hutan, mereka lebih memilih menyebut harimau dengan sebutan ompung yang artinya kakek atau buyut.

Harimau bagi orang Batak Toba memiliki nilai tersendiri. Dia adalah simbol penolong, pelindung serta melambangkan kekuatan. Tidak heran karena sifat dan perilakunya, terutama cara bertarung, mengintai dan berburu mangsa menjadi inspirasi seni bela diri Batak Toba yang disebut mossak.

Lalu bagaimana tradisi yang membuat harimau begitu dihormati? Apa juga manfaat dari kultus ini bagi pelestarian harimau? Berikut uraiannya:

1. Leluhur bagi masyarakat Batak

Disadur dari Tagar, bagi masyarakat Sumatra Utara (Sumut), khususnya suku Batak terkenal ada legenda Babiat Sitelpang. Sosok ini adalah harimau pincang yang konon menjaga ibu dan anak yang diasingkan ke dalam hutan. Sosok yang dijaga harimau ini adalah keturunan dari Raja Batak, bernama Si Boru Pareme.

Si Boru Pareme hamil dari hubungan incest dengan saudaranya Saribu Raja. Ketika dibuang ke hutan itu, Si Boru Pareme didekati seekor harimau yang sedang kesakitan karena sebatang tulang sisa buruannya menancap di kerongkongan. Dirinya iba hati, lalu membantu harimau itu mengeluarkan tulang tersebut.

Sejak itulah, terjalin persahabatan yang erat antara mereka berdua. Si harimau, membalas rasa terima kasihnya dengan mengantar hasil buruan ke tempat Si Boru Pareme secara teratur. Bahkan ketika Si Boru Pareme akan melahirkan, si harimau ini juga yang membantunya.

Karena persahabatan inilah, ada semacam kesepakatan bahwa harimau tidak akan memakan keturunan Si Boru Pareme. Anak yang dilahirkan Si Boru Pareme diberi nama Raja Lontung. Anak-anak dari Raja Lontung yang jumlahnya sembilan orang, kelak menjadi marga besar suku Batak.

Hal inilah yang menyebabkan zaman dahulu, kalau orang Batak bertemu harimau, orang tua di sana akan mengajarkan agar jangan takut, cukup dengan mengatakan, “Lontung do au Ompung! (Aku ini Lontung Kakek),” maka harimau tidak akan menyerang kita.

2. Mitologi yang jadi karakter

Cerita hidup dalam kebudayaan orang Batak selama beratus-ratus tahun. Bertransformasi dan mewujud menjadi nilai-nilai sosial budaya dan kearifan lokal. Karakter harimau bahkan diidentikan dengan orang Batak seperti keras, penolong, pelindung, setia berteman dan melambangkan kekuatan.

Nenek moyang Batak Mandailing mengakui bahwa harimau cukup beradat. Dia tidak akan mengganggu orang yang tak ada salahnya. Dan telah banyak orang bercerita, bila bertemu dengan harimau, lebih baik diam daripada berlari. Karena bila berlari, harimau akan menganggap kita salah.

Misalnya ketika memasuki hutan atau membuka perladangan, orang Batak terlebih dahulu meminta izin kepada Babiat Sitelpang yang dianggap penguasa wilayah,”Sattabi Ompung, lao mamolus hami hami di ingananmon (permisi Ompung, kami mau lewat dari tempatmu ini),” demikian sering diucapkan ketika melewati sebuah hutan.

Sementara itu, ada kepercayaan dari sesepuh Mandailing, bila ada harimau yang memasuki kampung, biasanya karena telah ada seseorang yang berbuat dosa di kampung tersebut. Contohnya bila telah ada yang berbuat zina di satu kampung, biasanya harimau akan berkeliaran di desa itu selama hampir seminggu.

Selain itu, saat musim durian di tanah Mandailing. Bila kita sedang menjaga durian di malam hari menunggu buah ini runtuh. Sebaiknya jangan mengambil semua hasilnya, tetapi meninggalkan sebagian untuk harimau. Bila tidak harimau ini akan mengaum dari balik rimba.

“Demikian juga sebaliknya. Bila harimau ini yang sampai duluan, diapun tak akan mengambil semua. Dia akan meninggalkan bagian untuk kita,” tulis Fetra Tumanggor dalam artikel Kisah Babiat Sitelpang, Legenda Harimau yang Menjadi Ompung Bagi Orang Batak.

3. Mengembalikan harimau menjadi tradisi

Harimau juga menjadi kesenian bela diri kuno di Suku Batak yang dikenal Mossak. Mossak dapat dikatakan berbeda dengan seni bela diri pada umumnya. Hal yang membedakan adalah Mossak Batak mengandung ilmu kebatinan yang diwariskan secara turun temurun dari leluhur.

Ada tiga tingkatan bela diri suku Batak,  yakni Ndikkar, Mossak, dan Sambut. Meskipun secara umum masyarakat menyebut dengan sebutan Mossak. Ada 12 jurus Mossak Batak Toba yakni dasarnya adalah jurus lalat dan terakhir jurus harimau.

Bila sudah berada ditingkat Sambut, berarti ke 12 jurus sudah dikuasai. Bila sudah mengenakan tali-tali tiga bolit berarti sudah guru besar. Tetapi okarena generasi muda lebih bangga dengan bela diri luar, seperti karate, silat dan kungfu, sehingga secara lambat laun menjadi terlupakan.

Bukan saja dalam tradisi, kearifan lokal tentang penghormatan kepada harimau juga sudah terlupakan. Alih-alih dihormati, kini harimau malah menjadi ancaman. Konflik manusia dan harimau semakin marak terdengar yang memakan korban dari kedua belah pihak.

“Jumlah populasi harimau Sumatra saat ini semakin sedikit dan terancam punah. Menurut data BBKSDA Sumut, ada 400-600 ekor harimau yang berada di beberapa habitat di Sumatra. Sedangkan untuk di Sumut, jumlahnya diperkirakan tinggal 33 ekor yang tersebar di beberapa habitat,” papar Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut, Hotmauli Siregar.