Ekowisata mangrove di Kepulauan Riau, cara jaga hutan agar bermanfaat bagi masyarakat

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Mangrove (sichunlam/Flickr)

Kepulauan Riau, memiliki potensi pengembangan ekowisata hutan mangrove. Cara ini bisa menjadi upaya perlindungan hutan mangrove sekaligus gerakan ekonomi masyarakat. Inti ekowisata mangrove adalah partisipasi aktif masyarakat. 

Memang hampir semua kabupaten dan kota di Kepulauan Riau memiliki potensi ekowisata mangrove. Namun kini hutan mangrove juga terancam penebangan buat arang bakau, ataupun penimbun untuk kepentingan ‘pembangunan’

Lalu bagaimana cerita mangrove di Kepulauan Riau ini? Dan apa juga kondisi mangrove di sana? Berikut uraiannya:

1.  Ekowisata Mangrove 

Mangrove (Bygones/Flickr)

Masyarakat Pandang Tak Jemu, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepri mulai mengelola ekowisata. Mereka menyakini ekowisata itu lebih mensejahterakan masyarakat sekitar tanpa campur tangan investor. Selain menyediakan makanan, ada juga oleh-oleh mulai dari kerajinan hingga makanan khas Melayu.

“Begitu juga untuk kesenian tari, setiap ada acara kita tampilkan tari Melayu, penari dari anak-anak sini juga,” kata Gerry yang merupakan pengelola Ekowisata Mangrove Pandang Tak Jemu yang dimuat Mongabay Indonesia.

Dirinya mengatakan mangrove Pandang Tak Jemu ada sejak ratusan tahun lalu dengan akar pohon besar. Menurut pria asli Nongsa ini tugas yang paling berat adalah menjaga mangrove tetap utuh seperti yang ditinggalkan oleh nenek moyangnya.

  Inilah Pasar Bahagia dari Garut, cukup bayar dengan doa

Sementara itu konsep ekowisata mereka adalah edukasi, konservasi serta meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. Ekowisata mangrove, katanya, sebaliknya dikelola murni masyarakat lokal tanpa melibatkan investor. Ketika ekowisata mangrove melibatkan badan usaha swasta akan mengurangi porsi masyarakat sekitar.

“Di sini semua masyarakat dari penamaan, pengelolaan hingga penjagaan,” kata Gerry.

2. Memberikan kesejahteraan

Mangrove (Bygnoes/Flickr)

Gerry berharap pemerintah juga memberikan bantuan yang betul-betul berbasis masyarakat. Apalagi bagi mereka, mangrove sudah layaknya rumah. Di Kepri, ekowisata mangrove memang tak hanya ada di Batam, tetapi juga ada di daerah Bintan.

Iwan Winarto, pengelola Desa Wisata Mangrove Pengudang, Bintan yang aktif merawat ekosistem pesisir termasuk mangrove berbasis masyarakat berharap desa wisata di tempat ini tetap berbasis masyarakat. Karena memang banyak desa wisata yang menggunakan modal investor.

Dirinya mengaku pernah ditawari oleh pemodal untuk mengelola wisata mangrove Pengudang itu. Dia menolak dan tetap mempertahankan berbasis masyarakat. Karena itu seluruh kebutuhan wisata di sini akan disediakan oleh masyarakat sekitar.

Muhammad Yusuf, Kepala Kelompok Kerja Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengatakan inti ekowisata mangrove adalah partisipasi aktif masyarakat.  Ekowisata juga harus memberikan sumbangan positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, pemanfaatan lingkungan, perlindungan, dan nilai karakteristik (alam dan budaya) setempat.

  Menyingkap mitos air suci Dewi Sri yang dipercaya berikan kesembuhan

“Mengikutsertakan aktif masyarakat dalam kegiatan pariwisata juga termasuk kriteria ekowisata,” katanya dalam materi “Rencana Pembangunan Kawasan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat.

Yusuf menyebut berbagai strategi pengembangan ekowisata terpadu berkelanjutan, perlu dukungan masyarakat melalui tahapan proses persiapan di tingkat lokal, dan pembinaan kemampuan masyarakat. Sehingga baginya harus diperhatikan distribusi manfaat finansial dan non finansial ke masyarakat secara adil dan merata.

3. Mangrove terancam 

Mangrove (sichunlam/Flickr)

Hampir semua kabupaten dan kota di Kepri memiliki potensi ekowisata mangrove seperti di Tanjungpinang, Bintan hingga Batam, tetapi hutan mangrove juga terancam penerbangan buat arang bakau, ataupun penimbunan untuk kepentingan pembangunan.

Beberapa peneliti menemukan ancaman mangrove di Kepulauan Riau. Seperti penelitian Pusat Penelitian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang, Dony Apdillah. Dirinya meneliti selama tiga bulan di Pulau Bintan dan memperlihatkan tutupan mangrove berkurang.

“Beberapa faktor seperti pemekaran wilayah, penambangan bauksit, dan ekspansi perkebunan,” paparnya.

Meskipun di beberapa wilayah pesisir mengalami penurunan, di beberapa tempat juga terdapat tutupan mangrove yang masih stabil, seperti daerah Teluk Sebong. Di kawasan ini, katanya mangrove dirawat dengan baik. Dony memperlihatkan data, tutupan mangrove meningkat sejak penghentian tambang bauksit di Bintan.

  Jejak jembatan akar yang ikonik di Sumatra Barat

Dony mengatakan ekowisata yang tepat berbasis atau memperdayakan masyarakat lokal yang membentuk kelompok-kelompok kecil. Pengelolaan ekowisata kolaborasi dengan pemerintah, perguruan tinggi, pengusaha, dan media juga baik.

“Yang jadi masalah, semua jalan, tetapi jalan sendiri.”

Artikel Terkait