Jika mendengar kata hama dalam bidang pertanian, satu hewan yang otomatis langsung diingat oleh kebanyakan orang biasanya adalah serangga. Jenisnya pun beragam, mulai dari belalang, kumbang, kutu daun, puthul, dan masih banyak lagi.
Hama serangga selama ini sangat dihindari karena sudah pasti menyebabkan kerugian yang cukup berpengaruh bagi para petani. Namun menariknya, serangga hama dengan jenis yang sama bagi masyarakat di sejumlah wilayah tertentu nyatanya banyak dijadikan sebagai santapan.
Bukan hal baru, makanan yang menjadikan serangga sebagai bahan utama atau diolah tanpa dicampur bahan lain juga sudah lama di jumpai, termasuk di Indonesia. Beberapa makanan ‘unik’ dari serangga yang sudah tak asing lagi misalnya rempeyek laron, botok tawon, dan sejenisnya.
Ada satu lagi jenis makanan dari serangga hama yang cukup disukai di tengah masyarakat Gunungkidul, Yogyakarta, yakni puthul.
1. Mengenal hama puthul
Memiliki nama ilmiah Phyllophaga hellery, puthul adalah jenis hama yang biasanya menyerang padi saat masih dalam bentuk perakaran. Namun selain padi, hama satu ini juga kerap dijumpai hinggap di tanaman lain seperti pohon pisang dan sejenisnya.
Masuk dalam kategori serangga yang memiliki siklus hidup sempurna, fase paling merugikan dari hewan satu ini adalah saat berada di fase larva yang mulai aktif menyerang padi.
Gejala serangan yang ditimbulkan oleh puthul saat berada di masa tersebut adalah tanaman padi menjadi layu. Padi juga menjadi mudah dicabut karena sebagian atau seluruh akarnya habis dijadikan sumber makanan mereka.
Yang perlu diketahui, puthul yang biasa dikonsumsi bukanlah puthul saat masih ada di masa larva seperti di atas. Melainkan puthul yang sudah berubah setelah melalui masa kepompong dan biasanya dijumpai pada masa awal musim penghujan.
Pada saat menyambut musim hujan itu lah, puthul akan kembali melalui musim kawin dan menebarkan telur di tanah yang selanjutnya akan menjadikan berbagai tanaman termasuk padi sebagai inang.
Karena itu, petani atau masyarakat Gunungkidul biasanya memutus rantai siklus hidup puthul agar tidak berkembang semakin banyak. Salah satunya dengan diburu dan dikonsumsi.
2. Diburu saat musim hujan
Karena hanya banyak muncul menjelang musim penghujan, hal itu juga membuat puthul menjadi makanan yang hanya dapat dijumpai pada saat tertentu. Yang tak disangka, selain dikonsumsi secara mandiri ternyata ada juga yang berminat untuk membeli serangga satu ini dengan harga cukup tinggi. Yakni sekitar Rp40 ribu sebanyak wadah satu botol air ukuran 1.500 mililiter.
Mengutip Kompas.com, biasanya sejumlah warga yang berada di Desa Giring, Kecamatan Paliyan, memburu puthul di waktu sore menjelang malam hari. Cara penangkapannya pun terbilang mudah dan hanya membutuhkan alat-alat sederhana. Alat yang dimaksud terdiri dari lampu senter dan botol plastik sebagai wadah penampung.
Diketahui jika dalam sekali waktu berburu, ada warga yang bisa mendapat puthul hingga sebanyak 2 kilogram. Banyak sedikitnya hasil tangkapan bergantung pada cuaca. Jika semakin deras dan sering hujan makan puthul akan semakin banyak keluar.
3. Digoreng atau dibacem
Mengolah puthul untuk dikonsumsi juga tidak terlalu rumit. Umumnya Puthul dikonsumsi dengan cara digoreng biasa.
Pertama puthul dibersihkan menggunakan air, tak lupa bagian sayap yang cukup keras harus dilepaskan terlebih dahulu dari tubuhnya. Serangga tersebut kemudian direbus dengan bumbu bacem. Setelahnya puthul ditiriskan lalu digoreng hingga kering hingga memiliki cita rasa gurih.
“Rasanya gurih seperti belalang kecil, selain untuk camilan juga untuk lauk makan nasi anget.” ujar Suparlan, salah satu warga Gunungkidul yang biasa mengonsumsi puthul.
Ada juga warga lain yang mengungkap jika puthul sebenarnya memiliki cita rasa yang lebih nikmat dan gurih dibandingkan belalang. Hanya saja dalam mengolahnya, puthul harus dibersihkan dari bulunya dan saat digoreng harus dalam waktu yang agak lama namun dengan api yang tidak besar, agar dagingnya tidak alot.