Indonesia memiliki keragaman suku dan bahasa yang membuatnya kaya dengan kebudayaannya. Dari data yang ada tercatat, Indonesia memiliki 133 desa adat. Desa ini tersebar dari tanah Aceh hingga Papua. Karena itu sebagai generasi milenial, kamu perlu melek dengan budaya negeri sendiri.
Sebagai bukti kecintaan terhadap budaya sendiri, kita pun bisa mempelajari budaya leluhur yang terpelihara oleh masyarakat. Karena itu sangat cocok bila menyempatkan untuk berlibur ke desa adat dan mempelajari kebudayaan di sana.
Selain bisa berlibur dan melepas penat, setidaknya kita bisa mendapatkan ilmu yang penting untuk tetap melestarikan warisan leluhur. Bahkan ada beberapa desa adat yang tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga sudah terdengar ke mancanegara, berikut rangkumannya:
1. Desa adat suku Baduy
Berbicara mengenai desa adat, Desa Adat Suku Baduy, Banten, Jawa Barat (Jabar) tentunya tidak boleh terlewatkan. Letaknya yang cukup dekat dengan Ibu Kota Jakarta menjadikan desa ini kerap dikunjungi oleh wisatawan.
Desa adat ini dihuni kurang lebih 20 ribu masyarakat. Suku ini terkenal sangat menjaga amanah leluhur dan memilih untuk mengisolasi diri dai dunia luar. Suku Baduy ini terbagi menjadi dua, ada Baduy Dalam dan juga Baduy Luar.
Pada masyarakat Baduy Dalam, aturan adat masih sangat murni, mereka tidak menggunakan alat elektronik, peralatan yang masih tradisional, tidak menggunakan alas kaki dan bahan kimia dalam kegiatan sehari-hari sehingga alam belum terkontaminasi.
Sedangkan pada masyarakat Baduy Luar, aturan sudah banyak ditinggalkan. Mereka sudah menggunakan alat elektronik. Tetapi baik masyarakat Baduy Dalam dan Luar mereka tetap mengandalkan hasil alam untuk menghidupi keseharian mereka.
Tida hanya orang tua dan dewasa saja, anak-anak kecil suku Baduy sudah sangat terampil untuk membuat kain tenun dan memintal benang. Suku Baduy ini identik dengan pakaian khas berwarna putih atau hitam. Sementara itu juga ada motif batik berwarna biru hitam yang disebut batik Baduy
Walau mereka memilih untuk menutup diri, tetapi suku ini tetap terbuka dengan para wisatawan atau siapapun yang ingin mempelajari budaya mereka. Walau ada beberapa persyaratan seperti tidak boleh memotret dan mengambil hasil alam tanpa izin.
2. Suku Kajang Ammatoa
Suku Kajang Ammatoa sampai kini masih terkenal memegang teguh adat istiadat leluhurnya. Suku ini berdiam diri di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka percaya bahwa tempat tinggal mereka merupakan tanah pertama yang di huni manusia (to manurung). Mereka pun menamai desa ini Tana Toa.
Desa adat Kajang Ammatoa memiliki luas 331,17 hektare. Dan memiliki jarak 56 km dari Kota Bulukumba. Masyarakat desa ini juga seperti suku Baduy yaitu menolak teknologi. Karena itu ketika anda berkunjung ke desa ini tidak mungkin ditemukan produk-produk teknologi. Mereka melihat teknologi akan merusak kelestarian alam.
Suku Kajang menggunakan pakaian yang serba hitam. Warna hitam diartikan sebagai bentuk persamaan dalam segala hal. Selain itu juga memiliki arti untuk menunjukan kekuatan dan kesamaan derajat dihadapan sang Pencipta.
Selain itu dalam pembangunan rumah, bahan, besarnya dan arah bangunannya harus yang seragam. Hal ini dilakukan untuk menghindari saling iri di antara mereka. Saling iri, menuru suku Kajang akan bisa merusak lingkungan.
3. Kampung Wae Rebo
UNESCO telah menetapkan Kampung Wae Rebo sebagai salah satu kekayaan dunia. Desa Wae Rebo berada di ketinggan 1.100 meter di atas permukaan laut. Karena terletak di ketinggian, desa ini kerap disebut desa “di atas awan”.
Sementara itu suku Wae Rebo memiliki tujuh rumah adat yang disebut Mbaru Niang. Rumah ini berbentuk kerucut ini ditempati bersama. Setiap rumah dihuni oleh enam hingga delapan keluarga. Mbaru Niang terdiri dari lima lantai dengan atap daun lontar dan ditutupi ijuk.
Sementara itu suku adat Wae Rebo memiliki hari spesial. Pada setiap November, warga di Desa Wae Rebo merayakan Upacara Adat Penti, yaitu perayaan untuk mengucapkan rasa syukur berkat hasil panen yang didapatkan dalam setahun serta memohon keharmonisan dan perlindungan.
Ternyata, walau berada di Manggarai Barat, NTT, namun warga desa mengklaim mereka keturunan Minang, Sumatra Barat (Sumbar). Dahulu katanya, Empo Maro, nenek moyang Wae Rebo berasal dari Minangkabau yang saat itu merantau hingga Flores.
Sumber Foto:
- Wikipedia
- Muhammad Sabran.com