Setiap kelompok di Jawa memiliki cara masing-masing dalam mengekspresikan wujud syukur kepada yang kuasa. Biasanya mereka mengadakan selamatan dengan berbentuk tumpeng dan juga dimeriahkan arak-arakan serta pentas seni.
Cara ini pula yang dilakukan oleh para petani di lereng Gunung Sumbing di Dusun Lamuk, Desa Legoksari, Tlogomulyo, Temanggung. Masyarakat menggelar tradisi Kirab Budaya Puji Jagat sebagai bentuk rasa syukur kepada alam atas karunia kepada mereka.
Lalu bagaimana tradisi Kirab Budaya Puji Jagat ini? Dan apa maknanya? Berikut uraiannya:
1. Tradisi Kirab Budaya Puji Jagat

Para petani di lereng Gunung Sumbing, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, pada Rabu (13/7/2022) menggelar ritual Kirab Budaya Puji Jagat. Dalam kirab tersebut, para peserta bahu membahu membawa tiga tumpeng dan dua gunungan nasi hasil bumi yang belum diolah.
Selain itu ada juga tumpeng darat hasil bumi yang sudah diolah menjadi kue, tumpeng, dan ingkung ayam. Tumpeng kemudian diarak keliling desa dan dipimpin oleh sesepuh adat. Selanjutnya, seluruh kelompok kesenian akan melakukan pentas dan diakhiri dengan perebutan gunungan hasil bumi oleh masyarakat.
Ketua Panita Kirab Puji Jagat, Lukman Sutopo mengatakan kegiatan ritual ini sudah dimulai sejak Selasa (12/7) malam dengan prosesi rakit sesajen, siram jamas. Kegiatan ini juga diikuti perangkat desa, pelaku seni yang dijamasi oleh pemangku adat kemudian dilanjutkan dengan Boyong Gongso.
“Kirab Puji Jagat merupakan ritual selamatan dusun, dengan berbagai rangkaian acara. Pertama upacara pembukaan dihadiri sesepuh desa, tokoh masyarakat, seniman, dan lain-lain. Selanjutnya dilakukan kirab keliling desa sampai dengan mata air Tuk Ringin. Pesertanya, antara lain seniman jaran kepang, reog, dan topeng ireng,” katanya yang dimuat Antaranews.
2. Tradisi yang masih kental

Bupati Temanggung M. Al Khadziq mengatakan bahwa Kirab Budaya Puji Jagat merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Melalui kirab ini, masyarakat di sana bersyukur karena diberi kehidupan yang makmur, alam yang subur dan sumber mata air yang melimpah.
“Diberi tanah subur karena ditanami apa saja hasilnya sangat baik. Contohnya Legoksari merupakan desa penghasil tembakau srintil, tembakau terbaik di dunia. Bahkan ketika ditanam kopi arabika hasilnya juga bagus,” ujar Al Khadziq dilansir dari Merdeka.
Dirinya mengatakan Legoksari merupakan salah satu daerah yang masih kental memegang adat dan tradisi terutama di wilayah Temanggung bagian selatan. Desa ini jelasnya, masih setia dalam memegang tradisi yang telah diwariskan nenek moyang.
Hal ini jelas Khadziq bisa dilihat dari upacara-upacara adat yang diselenggarakan setiap tahun dan dilihat dari kebudayaan yang ada. Menurutnya ini bisa menjadi contoh bagi desa-desa yang lain yang ada di Temanggung. Sebab bila desa memegang tradisi adat, maka rasa persaudaraan, silaturahmi, serta guyub rukun dapat terjaga.
“Saya yakin semua tanaman yang tumbuh di kawasan ini semua akan menghasilkan yang terbaik untuk kita semua. Selain itu, kita juga dikaruniakan masyarakat yang bisa hidup berdampingan secara guyub rukun.”
3. Para petani dari Gunung Sumbing

Para petani di lereng Gunung Sumbing memang masih menerapkan nilai-nilai tradisi dalam segala kehidupannya. Selain upacara syukuran, ketika memulai bertani mereka pun akan menggelar tradisi jamasan Srobong Gobang untuk mengawali tanam tembakau.
Tradisi jamasan Srobong Gobang secara umum diartikan membersihkan alat pertanian menggunakan air kembang sebelum digunakan untuk mengolah lahan, sedangkan srobong gobang sendiri merupakan alat pengrajang daun tembakau.
“Jamasan ini bertujuan agar peralatan yang digunakan dapat berfungsi dengan baik dan tidak menimbulkan malapetaka bagi petani yang menggunakan dan nantinya dapat menghasilkan panen yang melimpah,” kata Iksanudin, petani warga Desa Tlilir yang dimuat Antaranews.
Bahkan ketika ada rencana pemerintah yang ingin menaikan cukai tembakau dan rokok. Para petani tembakau, gabungan kelompok tani (gapoktan), dan pedagang tembakau pun menggelar ritual tolak bala dan doa bersama agar pemerintah mengurungkan rencana tersebut.
Ritual yang berlangsung pada Jumat (3/9/2021) ini dimulai dengan pembakaran kemenyan oleh sesepuh Desa Losari kemudian dilanjutkan dengan doa bersama. Nor Ahsan, koordinator acara tersebut menyebut ritual ini sebagai wujud kekecewaan atas rencana kenaikan cukai yang diwacanakan pemerintah.
“Dengan doa bersama tolak bala ini kami meminta kepada Sang Pencipta agar membuka mata pemerintah mengurungkan niat kenaikan cukai,” harapnya yang dimuat Kumparan.