Secara umum, melakukan harmonisasi dengan alam adalah salah satu kebutuhan masyarakat adat. Mereka seolah tak bisa hidup tanpa bergantung pada alam. Karenanya, alam menjadi salah satu elemen penting bagi kehidupan keseharian mereka, salah satunya adalah dengan menjaga hutan.
Hutan bagi masyarakat adat adalah sebagai sumber penghidupan. Selain menghasilkan air, hutan juga sebagai sumber untuk mendapatkan tumbuh-tumbuhan obat-obatan tradisional, dan sebagai mata pencarian. Hutan juga sebagai sumber mata air yang sangat penting untuk mengairi pesawahan yang ada di sekitar wilayah kasepuhan.
Karenanya, masyarakat adat kasepuhan sangat menjaga kelestarian hutan yang merupakan sumber penghidupan penting bagi mereka.
Dalam kelembagaan adat juga telah diatur tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh masyarakat adat kasepuhan. Ngajaga leuweng adalah merupakan salah satu bentuk kepedulian masyarakat adat kasepuhan dalam menjaga dan melestarikan hutan.
Lantas, apa makna hutan bagi masyarakat adat kasepuhan di wilayah Banten Kidul? Berikut uraiannya.
Makna dan fungsi hutan adat
Hutan adalah kebutuhan yang paling utama bagi masyarakat adat kasepuhan. Tak berlebihan memang, karena fungsi hutan amat sangat banyak sekali bagi kelestarian lingkungan masyarakat adat.
Sebagai sebuah sumber air dan cerminan keindahan kasepuhan yang berada di daerah perbukitan, hutan juga menjaga suhu udara sesuai dengan kodrat alam yang ada di wilayah kasepuhan.
Kebersamaan masyarakat kasepuhan (incu putu) dalam melestarikan alam pada perinsipnya sejalan dengan pemerintah melalui Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS–sebagai wilayah yang berada di TNGHS–yang sejatinya terjadi hubungan harmoni antara alam dengan manusia.
Tak heran, upaya dan menjaga ekosistim alam dan hutan di lingkungan masyarakat adat adalah prioritas dan tetap menjadi kebiasaan yang tak bisa ditinggalkan.
Menjaga hutan juga berarti menjaga flora dan fauna di dalamnya. Para jajaran pemangku kepentingan adat (Baris Kolot) pun bertugas memastikan hutan agar tetap hijau dan juga memastikan apakah ada penebang liar yang masuk atau tidak.
Salah satu wujud kepedulian masyarakat adat kasepuhan atas pengelolaan hutan adalah dengan adanya pembagian ruang kelola hutan, meraka membagi hutan ke dalam tiga bagian, yaitu: Hutan Tutupan, Hutan Titipan, dan Hutan Garapan.

Hutan titipan
Hutan Titipan adalah hutan yang tidak boleh dimasuki, lazimnya masyarakat adat menyebut wilayah ini dengan hutan larangan. Hutan ini tidak boleh disentuh atau dimasuki oleh masyarakat adat kasepuhan. Apabila dilanggar, maka diyakini akan ada bala penyakit, baik bagi si pelanggar atau untuk wilayah tersebut.
Beberapa mitos yang beredar menyebut, bagi yang sengaja memasuki hutan larangan atau melanggarnya, maka mereka tidak bisa pulang karena tidak menemukan jalan pulang dari hutan larangan tersebut.
Hutan larangan ini sangat dijaga masyarakat adat karena diyakini sebagai sumber air yang tiada habis. Untuk mengairi sawah, kebutuhan minum, untuk mandi, dst.
Hutan garapan
Hutan Garapan adalah hutan yang menjadi mata pencarian masyarakat kasepuhan berupa pesawahan, ladang dan kebun. Hutan garapan terbuka untuk digarap oleh siapa saja, asal untuk kepentingan masyarakat dan harus dilakoni dengan baik.
Namun, ada satu hal yang tidak boleh dilakukan atas hutan garapan, yakni mengeklaimnya secara individu, karena sejatinya hutan garapan adalah untuk kemaslahatan masyarakat adat secara umum. Karenanya, tidak ada batasan tertentu seberapa luas mereka harus menggarap.
Hutan tutupan
Hutan Tutupan adalah hutan yang boleh digarap tapi harus ada izin dari jajaran Baris Kolot, utamanya oleh Abah (Ketua Adat) dan Lembur Kolot (orang kepercayaan Abah).
Sejatinya, hutan tutupan hanya dimanfaatkan untuk keperluan membangun rumah dengan mengambil kayu dari hutan tersebut. Biasanya, hutan tutupan lokasinya tidak terlalu jauh dari pemukiman masyarakat adat.
Namun ada syarat untuk menggunakan hutan tutupan, yakni tidak boleh dibuka apabila di hutan garapan masih tersedia bahan-bahan untuk keperluan/membuat rumah.
Meski masyarakat kasepuhan tinggal di Kawasan TNGHS, namun nyatanya dengan diberlakukannya aturan-aturan adat, baik yang tertulis maupun tidak, mereka tetap bisa menjaga ekosistem hutan dengan baik, dengan tujuan tetap menjaga kekayaan alam dengan berbagai jenis flora dan fauna yang hidup di dalamnya.