Sunan Kalijaga menciptakan sebuah tembang berjudul Lir-ilir yang selalu mengalun merdu di lereng Pegunungan Kendeng Utara, Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Tembang ini membawa pesan kehidupan yang dinyanyikan ratusan petani dan puluhan warga Sedulur Sikep.
Kegiatan ini biasanya dikenal sebagai tradisi Lamporan, yang digelar petani lereng Pegunungan Kendeng Utara. Lamporan adalah tradisi petani menolak bala, berupa hama dan penyakit yang kerap menyerang tanaman ternak milik mereka.
Lalu bagaimana tradisi ini melestarian alam? Mengapa tradisi ini terus dipertahankan? Berikut uraiannya:
1. Tradisi Lamporan Kendeng

Lir-ilir merupakan tembang karangan Sunan Kalijaga yang biasa mengalun merdu di lereng Pegunungan Kendeng Utara, Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pekan lalu. Tembang yang membawa pesan kehidupan ini dinyanyikan ratusan dan puluhan warga Sedululur Sikep.
Mereka mengelilingi kendi dan aneka hasil olahan bumi sembari membawa obor. Terang obor itu menjadi penunjuk arah kehidupan agar manusia selalu memihak terang dan tidak terkungkung kegelapan. Terang itu membawa pada makna dan pesan tembang Lir-ilir.
“Bangun, bangunlah ke alam pemikiran yang baru. Lihatlah tanaman yang mulai bersemi itu. Tanaman yang mulai bersemi itu. Tanaman yang mulai bersemi adalah benih iman. Hakikatnya Allah sudah mengisi setiap manusia dengan benih-benih kebaikan. Terserah manusianya, mau merawat atau mengacuhkannya,” ujar Bambang (55) petani asal Kendeng yang dimuat dalam buku Pelestarian Alam dalam Tradisi Masyarakat Kendeng terbitan Kompas.
Kegiatan ini dikenal sebagai tradisi Lamporan yang digelar petani lereng Pegunungan Kendeng Utara. Lamporan adalah tradisi petani menolak bala, berupa hama dan penyakit yang kerap menyerang tanaman dan ternak milik mereka dan masih terus dilestarikan.
Bambang mengatakan tradisi Lamporan di Pati adalah tradisi petani di kala tanah masih murni. Saat itu petani masih menggunakan pupuk kandang atau pupuk organik. Bahkan, dahulu petani tidak perlu menggunakan pupuk, tanah tinggal dibajak dan dicangkul sudah subur.
“Tradisi itu kian pudar ketika petani menggunakan pupuk dan obat kimiawi. Kala sawah tidak subur lagi,” kata Bambang.
2. Ingatkan petani jaga alam

Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java menulis bahwa Jawa sangat bagus untuk pertanian, karena tanahnya subur. Salah satu ciri khasnya adalah tanah Jawa tidak perlu menggunakan pupuk. Di lahan sawah pengairan tahunan sudah cukup untuk meremajakan tanah dan bisa menghasilkan panen tahunan.
Tokoh Sedulur Sikep Pati, Gunretno menambahkan tradisi itu mengingatkan petani agar kembali pada alam dan menjaga bumi. Alam tidak hanya rusak karena pupuk dan obat kimiawi, tetapi juga karena ulah manusia dan industri.
Menurutnya tanah adalah bumi yang diibaratka sebagai ibu. Menjadi tempat berpijak dan harus dihormati dan dirawat karena bisa menghasilkan dan memberikan sandang dan pangan lintas generasi. Dirinya berharap tanah harus lestari dan sehat, karena jika sakit tanah tidak memberi kesuburan.
Karena itulah para perempuan kendeng berulang kali menembangkan doa agar Tuhan melindungi ibu pertiwi. Tembang dan doa tersebut mengiringi gerak sesepuh penari Solo, Suprapto Suryodarmo dan sejumlah penari asal Austria.
Tarian Umbul Donga Kendeng Ibu Pertiwi tersebut merupakan inti dari peringatan Hari Ibu bertema Sungkem Kanggo Ibu Pertiwi. Tarian itu mengajak masyarakat Kendeng untuk bersatu melestarikan bumi atau ibu pertiwi. Tarian itu juga sebah ajakan untuk selalu bersyukur atas anugerah yang diberikan Tuhan.
“Tarian itu penuh dengan simbol-simbol. Kendi menyimbolkan air, tanaman menyimbolkan kelestarian lingkungan, dan tanah merupakan simbol bumi atau ibu pertiwi yang menghidupi,” papar Mbah Prapto.
3. Sumber kehidupan

Gunarti koordinator kegiatan mengatakan ibu merupakan sosok yang tanpa kenal lelah memberikan kasih sayang kepda anaknya. Ibu itu ibarat bumi yang memberikan kehidupan kepada seluruh penghuninya. Seorang ibu pun merawat dan membesarkan anak-anaknya.
Ibu pertiwi begitu setiap orang menyebut bumi yang ditempati. Ibu menghidupi seluruh makhluk sehingga sudah menjadi kewajiban bagi manusia untuk merawat dan melindungi. Semngat itu yang menggerakan warga di Pegunungan Kendeng Utara untuk lantang menyuarakan perlawanan terhadap segala bentuk pengrusakan bumi.
“Semangat itu pulalah yang mengilhami ribuan perempuan di Pegunungan Kendeng Utara untuk terlibat secara aktif dalam gerakan menolak pembangunan pabrik semen yang telah berlangsung sekitar delapan tahun ini,” kata Gunarti.
Di akhir kegiatan, ibu-ibu petani di lereng Pegunungan Kendeng Utara itu menanam aneka benih pohon di rumah dan ahan masing-masing. Gerakan penghijauan itu merupakan upaya konkret menjaga kelestarian pegunungan yang membentang dari Kudus hingga Blora tersebut.