Sudah swasembada beras, bagaimana kesejahteraan petani desa?

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Ilustrasi petani (sobat lama/Flickr)

International Rice Research Institute (IRRI) memberi sertifikat pengakuan kepada Presiden Jokowi karena Indonesia berhasil mencapai swasembada beras 2019-2021, namun penghargaan ini disebut tak beriringan dengan peningkatan kesejahteraan petani.

Dalam laporan Kementerian Pertanian mencatat terjadi penurunan nilai tukar petani (NTP) subsektor tanaman pangan selama tiga tahun terakhir.  Karena itu diharapkan penghargaan swasembada beras untuk Presiden Jokowi semestinya dijadikan perbaikan kesejahteraan petani.

Lalu bagaimana dampak dari penghargaan ini bagi petani? Langkah apa yang perlu dilakukan? Berikut uraiannya:

1. Swasembada (bukan) untuk petani

Ilustrasi petani (Maude Bardet/Flickr)

IRRI memberi sertifikat pengakuan kepada Presiden Jokowi karena Indonesia berhasil mencapai swasembada beras 2019-2021, tetapi pengharagaan ini disebut tak berirngan dengan peningkatan kesejahteraan petani.

Reaksi misalnya datang dari petani asal Kulonprogo, Yogyakarta, Etik Linawati. Menurutnya, pengharagaan tersebut tidak memberi keuntungan pada petani padi. Kata dia meski produksinya dikatakan mampu mencukupi dalam tiga tahun terakhir, namun saat panen harga bisa anjlok.

“Apalagi musim panen, harganya Rp2600. Harga gabah basah dari sawah,” katanya yang dimuat BBC Indonesia.

Harga padi di tingkat petani selalu fluktuatif. Harganya bahkan tiba-tiba bisa terjun bebas ketika pemerintah menghembuskan wacana impor di musim panen raya, seperti yang terjadi pada 2021 silam. Bagi petani asal Rembang, Joko Supriyanto banyak persoalan terjadi di lapangan.

  Budaya uma lengge, filosofi menyimpan bahan pangan Suku Mbojo agar tidak serakah

Selain persoalan harga padi, mereka juga dihadapkan untuk mencari pupuk dan lahan pertanian yang mulai dialihfungsikan sebagai lahan pertambangan. Karena itulah mereka secara aktif menolak pertambangan di Desa Tegoldowo.

“Itu terjadi sudah lama sekali, bertahun-tahun tanpa penyelesaian,” lanjut Joko.

2. Petani kurang sejahtera

Ilustrasi petani (sobat lama/Flickr)

Menurut catatan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) terjadi penurunan harga beras, termasuk pendapatan petani dalam tiga tahun terakhir. Hal ini terlihat dalam kajian yang mereka lakukan pada April 2020 silam.

Lembaga ini mengkaji 36 kabupaten sentra produksi padi di mana hasilnya menunjukan terjadi penurunan harga gabah di tingkat petani hingga Rp1000 selama bertahun-tahun. Koordinator KRKP Ayip Said Abdullah pun berharap penghargaan itu dijadikan momen perbaikan kesejahteran petani.

“Ini jadi satu momentum pemerintah untuk melihat bahwa keberhasilan alat ukurnya jangan dari produksi saja, tetapi seberapa mampu program dan kebijakan itu mendorong perubahan di subyeknya (petani),” kata Ayip.

Dalam laporan lainnya, Kementerian Pertanian mencatat terjadi penurunan nilai tukar petani (NTP) subsektor tanaman pangan selama tiga tahun terakhir. Subketor tanaman pangan meliputi padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, ubi-ubian, kacang tanah, kacang kedelai, serta bahan makanan lainnya. 

  Surinanto, penikmat ketenangan masa pensiun dengan bertani

NTP merupakan nilai rujukan kesejahteraan petani. Bila angkanya di atas 100 (dari tahun dasar), maka kenaikan pendapatan petani lebih besar dari pengeluarannya. Sebaliknya jika angkanya di bawah 100 maka kenaikan pendapatan petani lebih kecil dari pengeluarnnya.

Dalam catatan KRKP, pada 2020, NTP petani subsektor tanaman mencapai 101,43. Tetapi kemudian turun 98,21 pada 2021, dan sampai Juli 2022 angkanya kembali merosot menjadi 97,98. Selain itu mereka menyebut petani pada masih menjadi kelompok paling rendah kesejahteraannya.

“Nilai tukar petani pada selalu lebih rendah dibandingkan NTP petani secara umum. Artinya memang petani padi masih menjadi kelompok yang paling rendah kesejahterannya,” tambah Ayip.

3. Dorong wirausaha

Petani tembakau (Rokok Indonesia/Flickr)

Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono mengatakan untuk mendorong kesejahteraan petani, pihaknya akan mengaungkan pengembangan kewirausahaan inovatif melalui digitalisasi pertanian.

Isu ini pun masuk ke dalam salah satu bahasan pertemuan kelompok kerja pertanian semua anggota G20 akhir Juli lalu, selain itu sistem pangan yang berkelanjutan dan perdagangan pangan yang transparan.

  Mengenal harmoni sejarah dan budaya Kasepuhan Citorek

“Memajukan kewirausaan pertanian yang inovatif melalui digitalisasi pertanian, untuk meningkatan kehidupan petani di pedesaan. Diapresiasi kontennya,” kata Kasdi.

Namun bagi Wayan Supadno, praktisi dan pengamat pertanian ada dua persoalan yang membuat petani Indonesia sulit maju dan berkembang yakni mereka belum memiliki jiwa wirausaha yang kuat dan profesi petani belum menjanjikan kehidupan yang makmur dan sejahtera.

Dalam catatannya, petani di Indonesia umumnya tak memiliki kemampuan berinovasi yang baik, bahkan Indonesia dinilai indeks inovasi globalnya pun masih sangat rendah, yakni di peringkat 85 dari 131 negara. Padahal, jelasnya, sarjana pertanian di Indonesia terbanyak di dunia.

“Jaminan kehidupan yang makmur dan sejahtera dari profesi petani pun sayangnya masih jauh panggang dari api di tanah air. Padahal ini sumber kesetian agar tetap bertani,” paparnya yang dimuat Antaranews.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata