Tradisi ngarot, bukan sekadar ajang cari jodoh petani desa

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Ilustrasi pasangan muda desa (Sutipond Somnam/Flickr)

Menjadi petani merupakan pilihan hidup. Pada pesta ngarot, pesta awal tanam masyarakat agraris, anak-anak muda di desa-desa Indramayu mencoba menemukan pilihan hidup itu di tengah gemerlap era industrialisasi.

Selama ratusan tahun pula tradisi itu berhasil mengantar Indramayu pada budaya agraris yang membawa kemakmuran. Para pemuda mempunya kemampuan bertani dan beregenerasi.

Lalu bagaimana tradisi ini terus bertahan? Dan mengapa kini tradisi tersebut hanya menjadi ajang pencari jodoh? Berikut uraiannya:

1. Menggelar ngarot

Tradisi ngarot (diah paramitha/Flickr)

Pesta ngarot, pesta awal tanam masyarakat agraris, anak-anak muda di desa-desa Indramayu mencoba menemukan pilihan hidup itu di tengah gemerlap era industrialisasi. Tradisi ini memang identik dengan anak muda.

Inti upacara itu saat pejabat kuwu (kepala desa) memberikan antara lain, benih, perkakas untuk menanam dan pupuk kepada anak muda. Dahulu dalam tradisi ini perempuan menabur benih di sawah dan laki-laki mencangkul, pertanda musim tanam dimulai.

Dimuat Kompas, upacara ngarot menurut Kuwu Desa Lelea, Raidi, dicetuskan oleh Ki Kapol, seorang petani yang ketika itu memiliki banyak lahan seluas 2,6 hektare. Produksi padinya selalu berlebih karena dibantu anak muda yang tak meminta bayaran.

Sebagai tanda terima kasih, Ki Kapol yang juga pernah menjadi kuwu menyuguhkan berbagai minuman, seperti bajigur dan wedang, sebelum masa tanam datang. Karena itulah acara ini disebut dinamai ngarot atau dalam bahasa Sunda artinya minum-minum.

  Mengenal 5 wilayah adat yang ada di Provinsi Papua

Hingga kini, sawah milik Ki Kapol itu diwariskan turun-temurun kepada kuwu yang menjabat. Hasil garapan lahan ditujukan untuk membiayai upacara adat, seperti ngarot. Di pesta ngarot, anak muda Indramayu kian menjauhi jalan hidup agraris mereka.

“Anak saya harus tetap ikut ngarot. Ini sudah tradisi turun-temurun dan untuk berdoa agar puso (gagal panen) tidak terjadi lagi pada musim tanam berikutnya,” ungkat Denuri.

2. Simbol regenerasi

Tradisi ngarot (Ginaapriani/Flickr)

Pada tradisi ngarot para remaja diperlakukan bak warga istimewa. Sejak pagi mereka didandani secantik dan seganteng mungkin untuk tampil dalam arak-arakan. Remaja memang menjadi lakon utama pesta tanam padi ngarot.

Tradisi ini dipertahankan untuk menghormati Ki Kapol yang sepanjang hidupnya mendidik para remaja bercocok tanam. Dalam setiap tradisi ngarot, para pemuda diajak turun ke sawah mengawali musim tanam padi.

Selama ratusan tahun pula tradisi itu berhasil mengantar Indramayu pada budaya agraris yang membawa kemakmuran. Para pemuda mempunyai kemampuan bertani dan beregenerasi untuk masa depan.

“Pertanian menjadi kekuatan ekonomi Indramayu selama tiga abad terakhir,” tegas Siwi Yunita Cahyaningrum dan Timbuku Harthana dalam Tanah Air: Regenerasi Petani yang Tergerus.

Tetapi kini ritual pewarisan nilai-nilai luhur dan praktik hidup bercocok tanam telah lumer, beralih hanya wujud seremonial berburu belahan jiwa sebagai pendamping hidup, Jejaka dan gadis yang dulu menjadi denyut nadi pertanian, kini hanya menikmati pesta.

  Inovasi berkelanjutan dalam upaya menjaga ketahanan pangan

Berawal dari pertemuan di tengah sawah, dilanjutkan perkenalan, pesta setelah tanam padi, kemudian ada yang berujung kepada pernikahan. Sesepuh Desa Lelea, Samian mengatakan ritual ngarot sebenarnya tidak tepat disebut sebagai pesta mencari jodoh.

“Karena inti tradisi ini adalah mengajarkan cara bertani yang baik kepada generasi muda. Tapi, tak dimungkiri, banyak peserta yang akhirnya menikah (yang ketemu jodoh di pesta itu),” ujarnya.

3. Hilangnya regenerasi

Ilustrasi pasangan muda desa (Sutipond Somnam/Flickr)

Pergeseran pemaknaan ngarot tampaknya masih berlangsung. Sekarang ini tak hanya ada perubahan tujuan asasi dari tradisi tersebut. Peserta yang ikut malah dibilang tergolong usia yang sangat belia.

Dicatat oleh Samian ada peserta yang masih berumur 10-14 tahun yang tergolong masih pelajar SD dan SMP. Padahal jelasnya dahulu usia peserta benar-benar telah siap menikah atau bekerja yakni 16-18 tahun.

Lebe Sukardi, Ketua RT di Desa Lela menambahkan remaja sekarang juga cenderung enggan dan malu mengikuti tradisi ngarot. Dijelaskannya alasan gengsi, tidak gaul, ataupun malu ditonton karena berpakaian kebaya tak jarang dilontarkan untuk menolak terlibat.

  Dewi Sri, mitologi bagi tradisi kesuburan pertanian di Nusantara

“Dulu, seorang remaja bisa ikut ngarot 3-5 kali, atau sampai dia menikah. Tapi sekarang hanya 1-2 kali saja,” kata Lebe.

Para sesepuh desa juga mengkhawatirkan tradisi ini sirna 100 atau 200 tahun ke depan, karena tak ada lagi muda-mudi yang bersedia diarak keliling desa. Hal yang lebih dikhawatirkan adalah anak-anak muda ini tak lagi mau menjadi petani.

Iming-iming hidup gemerlap di kota membuat remaja Indramayu tak lagi bermimpi jadi petani di desa. Area persawahan kini telah berganti rumah, pabrik, dan jalan. Kesempatan hidup lebih layak ketika menjadi petani membuat mereka enggan menekuni profesi ini.

Ribuan pemuda Indramayu memilih menjadi TKI. Jika tidak menjadi TKI, remaja akan memilih mengadu nasib di kota. Mereka meninggalkan baju hitam dan celana tanggung khas petani untuk bekerja apa saja di Jakarta.

“Andai pada zaman ini Ki Kapol bisa menyaksikan tradisi yang ia ciptakan, ia akan menemukan fakta bahwa menjadi petani ternyata bukan pilihan hidup pemuda Lelea,” papar Siwi.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata