Pakar mamalia Lousiana State University, Jake Esselstyn bersama sekelompok peneliti berhasil menemukan 14 spesies endemik baru tikus celurut di Pulau Sulawesi. Penemuan besar ini menambah populasi dalam kerajaan hewan yang ada di Indonesia.
Celurut sendiri merupakan hewan pemakan serangga bertubuh kecil yang berpenampilan mirip mencit/tikus kecil. Penemuan spesies celurut menjadi hal yang menarik dan juga membuat frustasi. Pasalnya, para peneliti menganggap jika celurut hanya memiliki satu spesies saja.
Lalu bagaimana hewan ini bisa ditemukan? Berikut uraianya:
1. Penemuan besar

Penemuan terbesar dalam ilmu pengetahuan terjadi setelah ditemukan 14 spesies hewan endemik baru di Pulau Sulawesi. Penemuan ini dilakukan selama perjalanan satu dekade terakhir akan spesies celurut. Jake Esslstyn, ahli mamalia dari Louisiana State University (LSU) telah mengidentifikasi 14 spesies celurut endemik baru.
Dikutip dari Jurnal Bulletin of the American Museum of Natural History, jumlah ini merupakan penemuan mamalia baru terbanyak yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah sejak tahun 1931. Esselstyn menemukannya setelah selama satu dekade meneliti celurut-celurut di sana bersama rekan satu timnya yang dari Indonesia.
Para peneliti yang tergabung yakni dari mahasiswa, doktoral LSU Heru Andika, alumnus LSU Mark Swanson, Anang Achmadi dari Institut Sains Indonesia di Cibinong, Thomas Giarla dari Siena Collage di Loudonville New York, dan Kevin Rowe dari Museums Victoria Australia.
Esselstyn menyebut ini adalah sebuah penemuan besar, tetapi sempat membuatnya frustasi. Pasalnya para peneliti biasanya menemukan satu spesies baru dalam satu waktu. Sementara, pada penelitiannya kali ini, mereka tidak menemukan apapun dalam tahun-tahun pertama.
“Biasanya, kami menemukan satu spesies baru pada satu waktu, dan ada sensasi besar yang datang darinya. Tetapi dalam kasus ini, itu luar biasa karena selama beberapa tahun pertama, kami tidak dapat mengetahui berapa banyak spesies yang ada,” ucapnya yang dinukil dari National Geographic, Minggu (7/3/2022).
2. Spesies celurut

Esselstyn mencatat penemuan mereka dalam sebuah karya berjudul Fourteen New, Endemic Species of Shrew (genus Crocidura) from Sulawesi Reveal Spectacular Island Radition. Tulisan mereka ini diterbitkan melalui Bulletin of the American Museum of Natural History.
Dalam tulisan ini, dia menjelaskan para ilmuwan baru menemukan titik terang saat memeriksa koleksi data genetik dan spesimen baru yang mereka kumpulkan antara tahun 2010 dan 2018, yang dikombinasikan dengan spesimen lama yang dikumpulkan pada 1916.
Totalnya mereka menganalisis hampir 1.400 spesimen dan mendapati 21 spesies di Sulawesi, termasuk 14 spesies baru tersebut. Kini keanekaragaman tikus celurut di Pulau Sulawesi tiga kali lebih banyak daripada yang diketahui di pulau mana pun.
Keempat belas spesies celurut baru tersebut diberi nama ilmiah Crocidura micrelangata, C quaiselongata, C pseudorhodits, C australis, C palida, C baletei, C mediocris, C parca, C tenebrosa, C brevicauda, C caudicrass, C normalis, C ordinaria, dan C solita.
Adapun tujuh spesies celurut lain di Sulawesi yang telah di identifikasi adalah Crocidura caudipilosa, C elongata, C rhoditis, C lea, C levicula, C musseri, dan C nigripes. Celurut merupakan hewan pemakan serangga kecil ini merupakan kerabat yang lebih dekat ke landak dan tikus tanah ketimbang mamalia lainnya.
3. Tonggak utama penelitian

Esselsyn menyebut penemuan ini merupakan tonggak utama dalam penelitian mereka. Dia pertama kali tertarik untuk menguji hipotesis ekologi dan evolusi yang mungkin menjelaskan keragaman celurut di Indonesia ketika dia menjadi mahasiswa pasca sarjana di University of Kansas.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, dirinya dan Anang Achmadi, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kini tergabung dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mulai menangkap celurut-celurut di Pulau Sulawesi sejak tahun 2010.
Mereka segera menyadari ada terlalu banyak spesies yang belum terdokumentasi. Sekarang setelah dia merasa telah menguasai keanekaragaman celurut di pulau ini, Esselstyn tertarik untuk mengeksplorasi faktor-faktor geografis, geologis, dan biologis yang telah berkontribusi pada keanekaragaman hayati Sulawesi yang luar biasa.
“Taksonomi berfungsi sebagai dasar dari begitu banyak penelitian biologi dan upaya konservasi. Ketika kita tidak tahu berapa banyak spesies yang ada atau di mana mereka hidup, kemampuan kita untuk memahami dan melestarikan kehidupan sangat terbatas. Sangat penting bagi kami untuk mendokumentasikan dan menamai keragaman itu,” kata Esselstyn.
Baginya bila mereka dapat menemukan lebih banyak spesies baru, terutama dalam kelompok yang relatif terkenal yakni mamalia. Dirinya membayangkan akan banyak keanekaragaman yang tidka terdokumentasi pada organisme yang tidak terlalu mencolok.