Death Adder, ular berbisa dunia yang banyak dijumpai di Papua

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
ular death adder (Mitch Thorburn/flickr)

Ular selama ini dikenal sebagai salah satu hewan paling berbahaya yang ada di dunia. Berbisa atau tidak, gigitan ular selalu menyebabkan kondisi cedera, beberapa bahkan dapat berakhir dengan kematian.

Diketahui jika Indonesia menjadi rumah bagi 10 persen dari sekitar 3.600 jenis ular di seluruh dunia. Beberapa di antaranya bersifat endemik, namun ada juga yang memang menyebar secara luas dari negara lain.

Pakar herpetologi LIPI yakni Dr. Amir Hamidy memaparkan, jika di Indonesia ada tiga jenis ular berbisa yang sering menggigit manusia. Pertama ular kobra yang dibagi lagi menjadi dua sub-jenis berbeda yakni kobra biasa dan king kobra, kedua ular weling, dan ketiga ular welang yang masih berkerabat dekat dengan weling.

Di samping itu, terdapat fakta mengenai eksistensi spesies ular paling berbahaya dunia yang ada di Indonesia, yakni ular death adder. Tak main-main, karena nyatanya spesies ular ini pernah menimbulkan korban yang sempat menghebohkan di kalangan pemerhati lingkungan.

1. Mengenal death adder

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Kementerian LHK (@kementerianlhk)

Memiliki nama ilmiah Acanthopis spp. Death adder merupakan salah satu jenis ular berbisa paling mematikan di dunia. Dari banyaknya spesies ular mematikan, spesies death adder disebut menduduki peringkat ke-4.

  Berstatus hampir punah, ini fakta hiu karpet berbintik khas Raja Ampat

Jika dilihat dari bentuk fisik, ular ini sebenarnya memiliki tubuh yang terbilang pendek, panjangnya hanya sekitar 40-100 sentimeter. Dari segi morfologi, tubuhnya memang berciri pendek dan gemuk. Memiliki kepala berbentuk kapak (segitiga), sisik-sisik di atas kepala berukuran kecil, mata dengan pupil vertikal dan taring yang berukuran cukup panjang.

Mereka dikenal sebagai makhluk soliter, nokturnal, dan pandai berkamuflase. Hal tersebut lantaran kulitnya memiliki warna dan corak yang menyerupai habitat permukaan tanah di hutan. Ular ini biasa bersembunyi di bawah serasah atau guguran daun dan puing-puing hutan, semak belukar, dan padang rumput.

Death adder sebenarnya dikenal berasal dari daratan Australia. Namun penyebarannya juga ditemui di sejumlah wilayah Indonesia terutama Papua bagian selatan, termasuk Kabupaten Mimika. Ular ini juga kerap ditemui di beberapa wilayah pulau kecil sekitaran Papua seperti Maluku dan sekitarnya.

Yang perlu diwaspadai, di Papua keberadaan ular ini banyak ditemui tidak hanya di hutan atau sungai, namun juga di jalanan hingga memasuki kawasan pemukiman, bahkan rumah manusia.

  Buah merah, tanaman prasejarah yang penting bagi masyarakat Papua

2. Telan korban di tahun 2019

Death adder (Chris Hay/flickr)

Pada tahun 2019, death adder pernah mencuri perhatian setelah menjadi penyebab kematian dari anggota Brimob yang sedang bertugas di Papua bernama Desri Sahrondi. Bripka tersebut diketahui meninggal dua hari setelah digigit saat sedang beraktivitas di kawasan Kali Iwaka yang berada di Kabupaten Mimika.

Tidak langsung ambruk, korban yang digigit disebut sempat menangkap ular tersebut dan memasukkannya ke dalam botol.

Ahli biologi asal Australia yang mempelajari death adder yakni Christina Zdenek, menuliskan jika ular ini punya bisa dengan racun yang menyerang sistem saraf (neurotoksin). Orang yang digigit death adder akan mengalami gelaja seperti kelumpuhan otot mata, dan rasa sakit di otot perut.

Lain itu, korban juga akan merasakan pusing, mengantuk, dan pembesaran kelenjar getah bening. Seakan belum cukup, korban juga akan mengalami kehilangan kontrol otot yang dapat menyebabkan kegagalan pernapasan. Karena itu tak jarang, kematian bisa langsung terjadi bila korban tak segera diberi bantuan pernapasan.

  Yaki, monyet jambul hitam endemik Sulawesi

Di habitat aslinya sendiri yakni Australia, death adder dikenal memiliki reputasi buruk karena 50 persen korban yang digigit sudah pasti mati.

3. Tindakan tepat untuk gigitan death adder

Pakar toksinologi sekaligus Presiden Toxinology Society of Indonesia Tri Maharani menyebut, jika penanganan pertama dari korban gigitan ular satu ini adalah immobilisasi. Yakni tindakan memperkecil gerakan bagian tubuh yang terkena gigitan.

Penanganan yang salah seperti memijit bagian tubuh yang tergigit dengan tujuan mengeluarkan bisa hanya akan memperparah keadaan. Penanganan yang salah diyakini dapat menyebabkan korban masuk ke fase yang membuat organ tubuh rusak dan membutuhkan antivenom.

Sayangnya meski tersebar dengan cukup banyak di Mimika, nyatanya penawar atau antivenom dari bisa death adder belum tersedia atau dibuat di Indonesia. Antivenom yang dimaksud baru diproduksi di Australia. Ditambah lagi, harganya sendiri terbilang tinggi yakni sekitar Rp80 juta untuk dosis satu vial.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata