Kubung sunda, spesies langka yang hanya ada 2 jenis di dunia

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Kubung atau lemur terbang | @feathercollector (shutterstock)

Bagi kebanyakan orang yang tidak terbiasa dengan jenis hewan unik yang jarang terlihat di luar ruangan, mungkin merasa kurang familiar melihat atau menemukan hewan mirip tupai berselaput tipis di antara kaki dan lengan, dan ini sering diartikan sebagai sayap untuk membuatnya terbang, yakni kubung atau ada juga yang menyebutnya sebagai lemur terbang

Seperti dalam video yang baru-baru ini diposting oleh akun instagram @indoflashlight, seorang pria diserang oleh hewan ‘aneh’ tetapi mengaku tidak tahu nama hewan itu dan bertanya makanan apa yang harus diberi makan dan bagaimana cara merawat hewan tersebut.

Ia mengaku telah hewan langka yang dikenal bernama kubung itu terpisah dari induknya saat bekerja di hutan. Di kolom komentar, banyak warganet yang mengaku baru pertama kali melihat hewan tersebut, dan ada pula yang menganggap kubung sebagai hewan yang mirip sugar glider.

Bahkan yang paling ekstrem, hewan ini kerap disalah artikan sebagai salah satu spesies yang bisa terbang karena diselubung tubuhnya diselimuti kulit tipis mirip sayap. lantas, seperti apa sebenarnya klasifikasi dari hewan kubung yang memiliki nama berbeda di setiap wilayah Indonesia?

  Dianggap punah 140 tahun lalu, burung Auwo menampakkan diri di Papua Nugini

Hanya ada 2 spesies di dunia, salah satunya ada di Indonesia

Nama ilmiah hewan ini adalah Galeopterus variegatus, hewan ini dikenal dengan banyak nama di berbagai daerah. Dalam bahasa Inggris disebut Sunda Colugo, namun di Indonesia sendiri hewan ini biasa dikenal dengan kubung sunda, tupai tando, walang kopo, walangkekes, dan masih banyak lagi julukan lainnya.

Selain itu, kubung juga sering disebut juga lemur terbang atau lemur yang memiliki kemampuan terbang. Faktanya, taksonominya jelas berbeda dari lemur, dan mereka pada dasarnya benar-benar tidak bisa terbang.

Jika didefinisikan dengan benar, lemur adalah mamalia nokturnal dengan bentuk tubuh yang mirip dengan tupai dan selaput tipis yang ketika diregangkan, keempat kaki dan lengannya menyatu sehingga menyerupai bentuk sayap. .

Sedangkan jika dilihat dari jenisnya, kubung sunda sendiri merupakan salah satu dari dua jenis kubung yang ada di dunia, selain kubung Filipina (Cynocephalus volans), yang seperti namanya hanya memiliki ditemukan di Filipina.

Kubung sunda sebenarnya terdapat di negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Bahkan di Indonesia, kubung sunda diketahui memiliki habutat di Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Jawa.

  Mengungkap misteri kematian mendadak belasan ikan dewa di Cibulan

Kubung sunda banyak ditemukan di habitat hutan hujan tropis dataran rendah hingga ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Lebih suka memakan bagian lunak tanaman seperti daun muda, pucuk, bunga, dan buah. Kubung sunda betina diketahui berkembang biak saat hamil selama 60 hari dan akan membawa anaknya dalam membran besar setelah lahir.

Tak bisa terbang, tapi melayang

Secara umum, kubung kira-kira seukuran kucing dewasa, yakni dengan berat 1-1,75 kg dan panjang antara 36-43 cm, namun belum termasuk ekor yang memiliki panjang antara 22-27 cm. Sementara itu jika ‘sayap’ atau lapisan selaput tipisnya direntangkan, kubung bisa memiliki lebar mencapai 70 sentimeter.

Fakta lain yang sering disalahpahami adalah anggapan bahwa kubung adalah hewan yang bisa terbang. Teori ini mengacu pada kebiasaan melompat dari pohon ke pohon saat terbang. Bahkan, mereka hanya bisa berpindah dari pohon yang tinggi ke pohon yang lebih rendah.

Menariknya, bentuk selaput tipis yang memungkinkan kubung untuk melayang menjadi inspirasi munculnya pakaian terbang bersayap yang biasa digunakan manusia saat ingin terjun bebas dari ‘ketinggian yang sama’, seperti pesawat terbang. 

  Tusam Sumatra, pinus endemik Tapanuli Selatan dengan segudang manfaat

Mengenai keberadaannya, kubung sunda saat ini merupakan salah satu hewan yang dilindungi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. Juli 1999 berkaitan dengan konservasi flora dan fauna.

Meskipun dalam taksonomi IUCN terakhir dilakukan pada tahun 2008, hewan ini tetap Least Concern, namun saat ini populasinya dianggap semakin langka karena kehadirannya sehari-hari semakin sulit ditemukan di alam.

Artikel Terkait