Babi berjanggut (Sus barbatus), diberi nama seperti ini karena memiliki bulu (rambut) menyerupai janggut yang menutupi pipi dan rahang bawahnya. Ada dua subspesies babi berjanggut di Indonesia. Sus barbatus barbatus berada di Pulau Kalimantan, sedangkan serta Sus barbatus oi di Sumatra.
Babi berjanggut memiliki tubuh besar. Bobot normalnya sekitar 120 hingga 200 kilogram. Panjang tubuh jantan antara 137 hingga 152 sentimeter, sementara betina lebih kecil, sekitar 122 hingga 148 sentimeter. Kondisi populasi hewan ini kini cukup terancam.
Lalu bagaimana sosok hewan ini? Mengapa hewan ini berbeda dengan hewan sejenis? Berikut uraiannya:
1. Babi berjanggut

Hewan berjanggut atau berjenggot bukan hanya kambing, ada juga dari spesies babi, namanya babi berjanggut. Disebut babi berjanggut karena jenis ini memiliki bulu atau rambut melengkung menyerupai janggut, menutupi pipi dan rahang bawahnya.
Berdasarkan penelitian Matthew S Luskin (The University of Queesland, Australia) dan Alison Ke (The University of California). Diketahui ada dua subspesies babi berjanggut di Indonesia. Sus barbatus barbatus berada di Pulau Kalimantan serta Sus barbatus oi di Sumatra mulai Bangka, Kepulauan Riau dan Sumatra.
“Kedua subspesies dibedakan berdasarkan rentangnya: S. barbatus oi berasal dari Sumatra dan S barbatus barbatus merupakan endemik Semenanjung Malaysia dan Kalimantan, serta pulau-pulau dekat pantai Kalimantan hingga Pulau Sibutu,” tulis Matthew S Luskin dan Alison Ke yang dimuat Mongabay Indonesia.
Secara historis, babi berjanggut ditemukan di banyak pulau dekat pantai di semua wilayah. Analisis filogenetik dan morfologi menunjukkan, pemisahan genetik yang signifikan tetap ada tetapi tidak lengkap antara dua subspesies tersebut.
“Batas jangkauan distribusi kedua subspesies, misalnya babi barjanggut di Bangka dan Palang Bintang di Kepulauan Riau, tidak jelas termasuk dalam salah satu subspesies yang mana.”
2. Selalu bergerak

Dikutip dari Greeners, babi berjanggut ini memiliki tubuh besar. Bobot normalnya sekitar 120 hingga 200 kilogram. Panjang tubuh jantan antara 137 hingga 152 sentimeter, sementara betina lebih kecil, sekitar 122 hingga 148 sentimeter.
Warna kulitnya, saat masih muda, tampak kehitaman. Warna ini akan makin pudar seiring bertambahnya usia, hingga nantinya warna itu tampak campuran abu-abu, kuning atau putih. Janggutnya juga akan tumbuh lebih panjang seiring bertambahnya usia, dan pada jantan terlihat lebih hebat.
Habitatnya mendiami hutan hujan tropis dari semua ketinggian dan tipe hutan, dan dengan mudah bertahan di hutan yang rusak atau ditebang. Hidupnya berpindah, terus bergerak tanpa lelah, mengikuti musim buah. Hewan ini juga memakan biji-bijian, umbi-umbian, dan satwa kecil yang hidup di tanah seperti ulat/cacing dan serangga.
3. Pentingnya hutan

Masyarakat Kalimantan, terutama masyarakat Dayak Merap dan Puan, secara tradisional masih memburu babi hutan, termasuk Sus barbatus yang masuk ladang. Namun, mereka tidak berburu untuk menghabisi, tetapi menangkap yang masuk wilayah pertanian mereka saja.
Nining Liswanti dan kolega menulis dalam Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol X No 2:1-13 (2004) berjudul Persepsi Masyarakat Dayak Merap dan Punan tentang Pentingnya Hutan di Lansekap Hutan Tropis, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.
Dalam jurnal itu dijelaskan bahwa masyarakat tersebut selalu menghubungkan hutan dengan keseimbangan alam, dan kepercayaan spiritual. Hutan bagi mereka, selain menyediakan sumber daya dan lahan untuk berladang, juga merupakan tempat sakral untuk bersembunyi dari bahaya.
“Masyarakat lokal telah berupaya melakukan perlindungan hutan, yaitu melalui peraturan adat yang melarang untuk berladang atau mengambil sumber daya pokok di tempat tertentu agar hutan dapat digunakan beresinambungan,” tulis laporan itu.
Masyarakat Dayak Merap dan Punan juga melarang mengganggu satwa dan tumbuhan di hutan karena memiliki fungsi khusus. Misalnya, burung rangkong (Buceros) dan monyet (Macaca) yang membantu menebar benih, pohon beringin (Ficus) yang buahnya sangat digemari burung.
Lembaga Konservasi Dunia IUCN, memasukan babi berjanggut dalam status Rentan (VU), yang artinya jenis ini juga menghadapi ancaman kepunahan. Status ini sejak 2008, karena adanya penurunan populasi terus-menurus, hingga 30 persen dalam waktu 21 tahun.
Penyebabnya adalah hilangnya habitat akibat eksploitasi dan perusakan hutan. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, selain babi berjanggut, Indonesia juga memiliki beberapa jenis babi endemik lainnya.
Ada babirusa (endemik Sulawesi), babirusa togean (Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah), babirusa buru (Pulau Buru, Mangoli, Taliabu, Kepulauan Maluku), babi kutil (Pulau Bawean), serta babi sulawesi (Sulawesi, Flores, Nias, dan Pulau Seram).