Hiu paus (Rhincodon typus) atau whale shark merupakan satwa laut terbesar yang masih hidup di dunia hingga saat ini. Panjangnya bisa mencapai 20 meter dengan bobot badan mencapai 30 ton. Cukup mudah mengidentifikasi, yakni ada totol-totol putih pada tubuhnya.
Bagi nelayan di Desa Labuhan Jambu, hewan ini dianggap sebagai nenek moyang ikan. Memang hiu paus memiliki nilai budaya tersendiri yang cukup unik di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di berbagai lokasi yang telah lama menjadi titik kemunculan satwa tersebut
Lalu bagaimana hewan ini bagi nelayan Indonesia? Dan mengapa hewan ini dikeramatkan? Berikut uraiannya:
1. Ukuran hiu paus

Hiu paus atau whale shark merupakan satwa laut terbesar yang masih hidup di dunia hingga saat ini. Panjangnya bisa mencapai 20 meter dengan bobot badan mencapai 34 ton. Cukup mudah mengidentifikasi, yakni ada totol-totol putih pada tubuhnya.
Dalam bahasa Jawa, hewan ini juga sering disebut dengan nama geger lintang yang berarti punggung berbintang dan hiu tutul merujuk pada pola warna di punggungnya yang bertotol-totol, serupa bintang di langit.
Walau dikenal sebagai hewan bertubuh raksasa, namun satwa ini sangat jinak dan mudah berinteraksi dengan manusia. Bagi nelayan di Desa Labuhan Jambu, satwa ini dianggap sebagai nenek moyangnya ikan.
Bagi masyarakat Indonesia, hiu pas memang memiliki nilai budaya tersendiri yang cukup unik, terutama di berbagai lokasi yang telah lama menjadi titik kemunculan satwa tersebut. Sehingga hewan ini sangat dihormati di berbagai lokasi.
2. Hewan yang dikeramatkan

Di kawasan Derawan, Kalimantan Timur misalnya, masyarakat lokal sudah lama mengenal hiu paus yag sering muncul di bagan-bagan nelayan setempat. Hiu paus dipercaya sebagai hewan keramat sehingga masyarakat setempat melarang penangkapannya.
Konon katanya, masyarakat percaya hiu paus pernah menyelamatkan seorang korban tenggelam. Selain itu, hewan tersebut juga dianggap sebagai pembawa berkah oleh nelayan, karena umumnya kehadiran hiu paus disertai juga dengan kehadiran ikan-ikan lain yang menjadi tangkapan bagi nelayan.
Sementara itu bagi masyarakat Balikukup, hiu paus dikenal dengan nama hiu mbok atau hiu nenek. Masyarakat Belikukup percaya bahwa hiu paus merupakan jelmaan dan roh seorang nenek yang baik hati dan dipercaya akan membawa rezeki bila ada nelayan yang bertemu hewan ini.
Di Jawa Timur, terutama di daerah Muncar, masyarakat mengenal hiu paus sebagai hiu kekakek. Nama tersebut berasal dari kepercayaan setempat bahwa hiu adalah kakek atau leluhur dari ikan di laut. Hiu paus juha dianggap sebagai sosok penjaga laut.
Karena itulah, ketika nelayan menemui hiu paus di laut, mereka akan memberikan persembahan dalam bentuk rokok atau nasi sembari mengucapkan doa dalam Bahasa Jawa, “Mbah amit putune ajeng e megawe, njenengan paringi rezeki” (Mbah permisi cucunya mau kerja, tolong dikasih rezeki).
Karena itu, pada tahun 1976, ketika masyarakat menemukan hiu paus terdampar di Muncar, langsung bergotong royong untuk menguburkan hiu paus tersebut menggunakan kain kafan. Hal ini dilakukan karena hiu paus juga dianggap sebagai hewan yang sakral bagi mereka.
3. Edukasi untuk menjaga kelestarian

Walau dianggap sebagai hewan yang disakralkan oleh masyarakat Indonesia, hiu paus tetap berada dalam posisi terancam karena perburuan bahkan dianggap sebagai hama. Misal di daerah Desa Labuhan Jambu, sebagian nelayan menganggap hiu paus sebagai hama.
Namun semenjak ada edukasi bahwa hiu paus bukan satwa berbahaya dan perlu dilindungi, masyarakat mulai berperan penting melindungi ekosistem laut dan hiu paus. Tak ada lagi yang menggunakan kekerasan seperti tombak dan parang untuk mengusir mereka.
“Ketika hiu paus masuk jaring, nelayan akan membantu mengeluarkannya. Ketika jaring robek, pemerintah desa menanggungnya. Hal ini karena Desa Labuhan Jambu telah ditetapkan sebagai desa wisata berbasis hiu paus dengan tujuan untuk melindungi hiu paus. Pendapatan dari ekowisata ini untuk konservasi hiu paus,” terang Iqbal Hidayat, warga Desa Labuhan Jambu, mengutip Mongabay Indonesia.