Warga di Parangtinggia, Maros, Sulawesi Selatan, sudah terbiasa dengan kelelawar. Bagi warga di sana, kelelawar memberikan manfaat kepada masyarakat, terutama untuk penyerbukan tanaman dan pengendalian hama.
Di daerah tropis, kira-kira ada 300 tanaman yang pembuahan tergantung kelelawar dan diperkirakan 95 persen regenerasi hutan oleh kelelawar jenis pemakan buah atau madu. Namun kini kelelawar mulai tersingkir karena kehilangan habitat.
Lalu bagaimana kedekatan masyarakat Parangtinggia dengan kelelawar? Dan apa juga manfaat yang diberikan kepada manusia? Berikut uraiannya:
1. Kampung kelelawar

Kampung Parangtinggia, bagi penutur bahasa Bugis dan Makassar terdengar seperti tempat yang tinggi. Faktanya, kawasan ini berada di tanah landai berkeliling sawah. Di sisi lain, terdapat bentang karst bak benteng kokoh pelindung Kampung.
Di tempat ini terdapat keunikan lain yaitu kelelawar yang berkeliaran secara bebas. Saat kelelawar biasanya dianggap hama dan diusir bahkan dibasmi. Sejak puluhan tahun, kelelawar sudah berdampingan dengan masyarakat, bahkan tempat ini dikenal sebagai kampung kelelawar.
Di Parangtinggia, kelelawar dapat diamati secara dekat. Matanya melotot hitam, mengawasi gerakan. Sinar matahari yang menerpanya memperlihatkan semburat urat-urat kecil, pada bagian dalam sayap yang seperti kulit tipis nan lembut namun elastis.
Eko Rusdianto menyaksikan tepat di halaman rumah terdapat pohon mangga yang menjadi tempat kelelawar itu bersarang. Bau amoniak dari kencing dan kotoran kelelawar cukup menyengat.
“Warga di Parangtinggia sudah terbiasa dengan bau itu,” ungkapnya yang dimuat di Mongabay Indonesia.
2. Memberi manfaat

Eko menyebut kelelawar itu pertama kali dipelihara oleh warga pada 1980 an. Ada tiga kelelawar lalu beranak pinak. Warga, jelas Eko percaya bahwa kelelawar itu memangsa hama perusak tanaman.
Di Kampung Parangtinggia, kelelawar yang biasa menggantung adalah Acerodon celebensis (kalong Sulawesi). Acerodon adalah jenis kelelawar pemakan buah. Beberapa kelelawar lain adalah pemakan serangga.
Ketika wabah Covid 19, banyak daerah yang berupaya memusnahkan kelelawar. Padahal menurut Sigit Wiantoro, peneliti dari LIPI, memusnahkan kelelawar adalah hal keliru. Lebih baik, jelasnya, tak memakan dan tak merusak habitatnya.
“Memakan atau mengkonsumsi hewan liar, sebaiknya tidak dilakukan,” katanya.
Kelelawar, katanya merupakan mamalia yang memiliki peranan penting dalam rantai ekosistem. Kawanan ini dapat menjadi penyerbuk alami beberapa jenis buah, terutama durian. Selain kelelawar juga memangsa beberapa serangga dan hama.
3. Mulai menurun

Sigit menyatakan kini dengan makin sempitnya hutan dan hilangnya beberapa gua di kawasan Karst menyebabkan populasi kelelawar makin menurun. Salah satunya jenis Neopeteryx frosti dari Sulawesi yang cukup sulit untuk dijumpai.
“Ancaman lain yang begitu masif perburuan manusia, ” bebernya.
Sheherazade, Manager Program Progres mengatakan perhatian konservasi kelelawar masih sangat kurang. Di Sulawesi yang dinyatakan hotspot atau wilayah yang memiliki nilai keragaman tinggi, rupanya masih kurang.
Padahal menurutnya, secara geologi komposisi biodiversity di Sulawesi unik dan termasuk endemik. Salah satu ungkapnya, mengenalkan kelelawar sebagai bagian dari ekosistem yang harus dijaga.
Di Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, Sheharazade masih menemukan warga yang beranggapan kalau kelelawar akan merusak durian dan menggagalkan pembuahan. Setelah musim bunga berlalu, biji-biji kecil sebagai cikal buah akan bermunculan di dahan pohon, saat itu kelelawar akan keluar.
Kini saat lahan pertambakan makin masif di pesisir, kawasan mangrove rumah kelelawar makin menyempit, dan kelelawar pun menghilang. Karena itu buah durian di Kecamatan Suli pun ikut berkurang.
Padahal bagi Shera, dengan pendekatan bioekonomi, diperkirakan penyerbukan kelelawar bernilai 117 dolar US. Selain nilai ekonomi, poin pentingnya adalah mengenalkan konservasi kelelawar.