Rangkong dan alasannya jadi burung yang dianggap sakral bagi Suku Dayak

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
burung rangkong (wikipedia)

Burung Rangkong (Buceros) merupakan hewan yang begitu melekat bagi masyarakat Dayak di Kalimantan. Burung ini telah menjadi filosofi hidup, seperti sifat dan perilakunya yang dianggap sebagai suri teladan dalam menjalani kehidupan.

Rangkong gading bahkan telah ditetapkan sebagai maskot Kalimantan Barat (Kalbar) sejak tahun 1990 lewat SK Menteri Dalam Negeri Nomor 48/1989. Hal ini juga diperkuat dengan Keputusan Gubernur KDH Kalbar Nomor 257/1990 tanggal 6 Juli 1990 tentang penetapan identitas flora dan fauna daerah Kalbar.

Bukan saja dijadikan maskot, orang Dayak Iban sering menyebut rangkong gading sebagai panglima burung karena dianggap keramat dan sakti. Burung ini menjadi simbol perlawanan dari dunia atas, sementara dunia bawah dilambangkan pada sosok naga.

“Dia juga dianggap sebagai jelmaan pencipta, wadah pengetahuan dan adat yang diturunkan pada manusia,” tulis Aditya Widya Putri dalam artikel Rangkong Gading, Maskot Kalimantan Barat yang TerlupakanĀ yang dimuat Tirto.

Beberapa suku Dayak bahkan menjadikan rangkong sebagai simbol dari kebudayaannya. Lalu mengapa burung rangkong begitu disakralkan oleh masyarakat suku Dayak? berikut urainnya:

1. Hewan yang diciptakan pertama kali

Burung rangkong (wikipedia)

Burung rangkong dalam bahasa Dayak disebut burung Alo. Dalam kosmologi masyarakat Dayak ada kepercayaan bahwa burung rangkong merupakan hewan yang diciptakan pertama kali oleh Tuhan (Jubata). Sebagai makhluk hidup yang diciptakan pertama maka burung ini bertanggung jawab atas kehidupan yang disimbolkan dengan hutan.

  Heboh macan kumbang di Kabupaten Bandung yang sudah memangsa 22 ayam

Masyarakat Dayak juga mengakui spesies ini istimewa karena bertugas sebagai pemancar biji terbaik di hutan dan menjadi pengawal kelestarian hutan secara natural. Karena itulah, perilaku dari burung rangkong harus menjadi cerminan bagi manusia.

“Bagi masyarakat Dayak perilaku burung rangkong merupakan nilai etis moral yang patut diteladani oleh manusia. Nilai etis moral yang tercermin dari perilaku burung rangkong yaitu tanggung jawab, setia, semangat, langok (kebesaran), kamulia’an (kemuliaan), gaha (kemegahan) dan pakasa (keperkasaan),” tulis Claudya Ingrid Sahertian dalam jurnal ilmiah berjudul Sakralitas Burung Enggang dalam Teologi Lokal Masyarakat Dayak Kanayatn.

Rangkong yang memiliki nama lain seperti enggang, julang dan kangkareng ini juga diberi kewenangan khusus untuk menembus jalur subayan (surga) dan dunia dengan bebas tanpa batas. Kewenangan khusus untuk menembus jalur surga-dunia ini memiliki makna mendalam bagi suku Dayak.

Pada adat kematian suku Dayak Kanayatn, simbol burung rangkong muncul yang disebut Karana.Ā Masyarakat Dayak Kanayatn menyakini bahwa ketika seseorang telah wafat, yang meninggal hanyalah tubuh saja, tetapi roh bersifat abadi.

  Orangutan, primata yang dipercaya sebagai reinkarnasi leluhur namun tetap diburu

Karana sebagai adat kematian adalah sarana untuk menghantar orang yang meninggal menuju tempat abadi yang akan dibawa oleh burung rangkong. Bagi masyarakat Dayak Kanayatn, burung rangkong telah diberi kewenangan untuk mengantar roh ke surga.

2. Simbol rangkong dalam masyarakat

burung rangkong (wikipedia)

Dalam kultur masyarakat Dayak, burung rangkong telah melekat sebagai simbol identitas, penjaga keberlangsungan hutan, dan simbol pemersatu. Sementara itu masyarakat Dayak mengungkapkan narasi tentang burung rangkong dalam medium simbol.

Misalnya dalam rumah adat yang disebut betangĀ (rumah panjang) merupakan simbol identitas masyarakat Dayak Kanayatn. Sementara itu pada bumbungan rumah adat betangĀ di Pontianak atau di Lingga, dipasang simbol burung rangkong, sebab burung ini memiliki makna mendalam sebagai pemersatu dan keharmonisan.

Claudya juga mencatat simbol burung rangkong ditemukan dalam kelengkapan pakaian adat. Misalnya dayung atau pemimpin ritual akan mempergunakan kepala burung rangkong pada bagian topi. Bulunya juga dipakai sebagai hiasan topi.

Narasi tentang burung ini juga ditemukan dalam tarian masyarakat yang menceritakan relasi suku Dayak, Jubata, dan hutan sebagai sinergitas kehidupan. Tarian-tarian ini dilakukan hanya dalam waktu-waktu tertentu dan diciptakan sesuai dengan situasi seperti gawai adat.

  Gembili bagi orang Papua: tanpa tanaman ini, acara adat bisa batal digelar

“Selain itu narasi tentang burung rangkong juga diungkapkan pada ukiran-ukiran Dayak, baik pada perisai maupun ukiran sebagai ornamen-ornamen adat,” ucapnya.

3. Simbol yang terlupakan

rangkong (wikipedia)

Dipaparkan Mongabay, beragam konsep budaya tentang burung rangkong ternyata tidak sejalan dengan kenyataan. Hal ini bedasarkan survei yang dilakukan oleh Rangkong Indonesia bersama Kehati, YRJAN, dan TFCA (2018-2020) menyebut mayoritas responden tidak mengetahui nilai budaya dan adat dari rangkong.

Misalnya ada 86 persen responden mengaku tidak tahu bahwa maskot Provinsi Kalbar adalah rangkong gading, Bahkan ada 74 persen responden yang malah menyebut enggang cula sebagai maskot daerah mereka.

Sekitar 52 persen malah mengaku pernah berburu rangkong. Mirisnya lagi, rangkong gading menjadi jenis yang paling banyak diincar (80 persen). Krisis rangkong gading ini terjadi karena diburu untuk keperluan pasar gelap global.

Survei ini dilakukan terhadap 513 orang di beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu. Di antara para responden itu, 84 persennya adalah suku Dayak. Walau memang suku Dayak memiliki keberagaman yang tidak sederhana.

Sumber Foto:

  • Wikipedia

Artikel Terkait