Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) ternyata belum punah di Gunung Lawu. Hal ini terbukti ketika hewan itu terekam dalam kamera perangkap yang sengaja dipasang di kawasan Hutan Lindung KPH Lawu Selatan.
Dalam sepuluh tahun terakhir, macan tutul jawa beberapa kali menampakkan diri di kaki Gunung Lawu yang masih menjadi habitat alami hewan berstatus kritis alias terancam punah tersebut.
Lalu bagaimana kabar gembira hewan langka ini? Dan apakah Gunung Lawu tepat menjadi habitat macan tutul jawa? Berikut uraiannya:
1. Macan tutul jawa di Gunung Lawu

Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) ternyata belum punah di Gunung Lawu. Hal ini terbukti ketika hewan itu terekam dalam kamera perangkap yang sengaja dipasang di kawasan Hutan Lindung KPH Lawu Selatan.
Kabar gembira ini disampaikan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur. Informasi ini dibagikan oleh BBKSDA melalui akun instagram resmi mereka pada jumat, (9/9/2022).
“Salam konservasi. Kabar gembira sobat konservasi, kerja keras ujung tombak konservasi BBKSDA Jatim bersama Perum Perhutani KPH Lawu daerah selatan membuahkan hasil yang menggembirakan,” tulis BBKSDA Jatim dalam unggahannya.
“1 ekor macan tutul tertangkap camera trap yang terpasang di kawasan hutan lindung pengelolaan KPH Lawu daerah selatan,” sambungnya.
BBKSDA Jawa Timur memang sengaja memasang kamera perangkap khusus untuk memantau macan tutul itu. Karena dengan adanya video itu memberi bukti bahwa memang masih ada satwa langka itu di Gunung Lawu.
Tetapi mereka menyayangkan adanya tangan jahil yang mengambil kamera perangkap di Gunung Lawu itu. Karena itu pengelola meminta oknum-oknum itu agar tidak melakukannya lagi karena demi kebaikan bersama.
“Kepada seluruh masyarakat kami himbau untuk tidak merusak atau mengambil kamera trap yang terpasang di kawasan yang menjadi target inventarisasi dan verifikasi kehati tinggi, agar kita semua bisa mengetahui potensi sumber daya genetik yang kita milik. Telah hilang 1 unit kamera trap di kawasan hutan Lawu daerah selatan RPH Bedagung,” mereka menambahkan.
2. Kemunculan macan tutul

Berdasarkan catatan Solopos, macan tutul telah beberapa kali menampakkan diri di kaki Gunung Lawu selama sepuluh tahun terakhir. Tempat ini masih dianggap sebagai habitat alami hewan berstatus kritis alias terancam punah itu.
Pada April 2012, tiga macan tutul menyerang ternak milik warga Dusun Gandri, Desa Wonokeling, Kecamatan Jatiyoso, Karanganyar, Jawa Tengah. Sekitar pukul 10.00 WIB, hewan buas itu keluar dari hutan karena seekor anaknya diambil oleh warga.
Ketiga hewan buas ini kemudian menerkam seekor domba yang berada di lokasi kejadian. Kemunculan hewan ini disaksikan oleh dua warga Dusun Gandri bernama Tiyok dan Sani yang sedang mencari rumput di pinggir sebuah lembah Gunung Lawu.
“Macan itu tidak menyerang warga dan berlari ke arah gerombolan domba yang di pinggir lembah,” katanya.
Ada juga serangan macan tutul, seperti pada November 2018 yang terjadi beberapa kali di Desa Wonorejo, Kecamatan Jatiyoso, Karanganyar. Juga di Kecamatan Tawamangu pada Oktober 2018 yang menyebabkan 24 ekor kambing jadi korban.
Kepala BKSDA Jawa Tengah kala itu, Suharman menyatakan ada beberapa alasan mengapa terjadi teror macan tutul tersebut, seperti mulai dari habitatnya terganggu hingga kalah persaingan dengan harimau sejenis.
“Mungkin habitatnya yang semakin menyempit bisa juga. Soalnya, Gunung Lawu kan kemarin baru saja kebakaran. Bisa juga macan itu kalah bersaing dengan pejantan yang lain, sehingga mencari home ring baru tetapi tidak menemukan. Alhasil, macan itu turun ke permukiman warga,” paparnya.
Lembaga Konservasi Internasional IUCN telah memasukkan hewan buas itu ke dalam daftar Red List sejak 2008. Dicatat oleh IUCN, populasi hewan ini diyakini tinggal 250 ekor dengan habitat alami yang makin menyempit.
3. Gunung Lawu jadi habitat macan tutul

Hendra Gunawan dalam jurnal berjudul Sebaran Populasi dan Seleksi Habitat Macan Tutul Jawa di Jawa Tengah menyatakan dari 48 lokasi di perkebunan dan hutan yang ditemukan macan tutul, ada sembilan lokasi yang memiliki ketinggian 1.000 meter.
Dari sembilan lokasi ini umumnya merupakan gunung-gunung yang hutannya telah ditetapkan sebagai hutan lindung atau kawasan konservasi. Misalnya Gunung Slamet, Prau, Sindoro, Sumbing, Merapi, Merbabu, Lawu, Ungaran, dan Muria.
Hanya Gunung Merapi dan Merbabu yang telah ditetapkan sebagai taman nasional sejak 2004, sedangkan gunung-gunung lainnya merupakan hutan lindung. Karena statusnya hutan lindung membuat satwa langka relatif terjaga.
Sementara itu menurut jurnal dari Dewi Rumaisaa dan Zaki Fathullah yang berjudul Analisis Potensi Pembentukan Taman Nasional Gunung Lawu, wilayah ini juga memiliki potensi menjadi taman nasional
“Karena keunikannya, keanekaragaman hayati, ekosistem, geomorfologi, kondisi lingkungan, sejarah dan budaya,” paparnya.
Misalnya dari vegetasi hutan Gunung Lawu yang relatif mapan karena tidak adanya aktivitas vulkanik dalam jangka panjang, serta masih dijumpai ekosistem alami tanpa campur tangan manusia atau gangguan alam seperti kebakaran.
Terdapat pula spesies-spesies biota yang khas, seperti jalak lawu dan cemara gunung yang secara alami tidak pernah dijumpai pada gunung-gunung lain. Kemudian banyak situs purbakala yang tersebar mulai dari lereng gunung.
Hal yang penting juga kekayaan geomorfologi Gunung Lawu antara lain berupa mata air, air terjun, gua, sumber air panas dan lubang-lubang kawah solfatara. Beberapa hal ini bisa menjadi daya tarik pariwisata.
“Kelebihan-kelebihan tersebut sangat memungkinkan banyaknya pertumbuhan industri pariwisata yang merupakan persyaratan terakhir berdirinya taman nasional,” ucapnya.