3 aspek yang menjadikan sawit bukan tanaman hutan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Tanaman sawit | @mrfiza (shutterstock)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa sawit bukan tanaman hutan. Hal ini mengacu pada berbagai aturan pemerintah, analisis historis, dan kajian akademik yang dilakukan secara berlapis.

Keterangan itu diungkapkan Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK Agus Justianto, melalui keterangan tertulis, Senin (7/2/2022). Menurutnya, dari beragam aturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum, dan praktik, tanaman sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan.

Agus juga menyebut bahwa pemerintah saat ini lebih fokus untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi sejak beberapa dekade belakangan, sehingga mengakibatkan masifnya ekspansif penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang didominasi pelanggaran prosedur. 

Praktik kebun sawit yang ekspansif, monokultur, dan non prosedural di dalam kawasan hutan, telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis dan sosial yang harus diselesaikan. 

Berikut 3 aspek yang membuat sawit tak masuk kategori tanaman hutan:

1. Bukan tanaman rehabilitasi hutan dan lahan

Seperti disebutkan Agus di atas, bahwa soal status sawit telah tertuang dalam Peraturan Menteri LHK (Permen LHK) Nomor 23/2021 yang menyebut sawit tidak masuk sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).

  7 tanaman yang terbukti sebagai pengusir nyamuk secara alami

Terkait infiltrasi sawit yang tidak sah atau keterlanjuran sawit dalam Kawasan Hutan, maka penyelesaiannya dilakukan dengan memenuhi unsur-unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Penegakan hukum yang dilakukan itu diharapkan dapat memberikan dampak yang terbaik bagi masyarakat serta bagi hutan itu sendiri. 

Salah satunya soal aturan untuk pemulihan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestry tertentu, atau yang lazim disebut sebagai Regulasi Jangka Benah

Kebijakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), yaitu Permen LHK Nomor 8 dan 9 Tahun 2021, telah memuat regulasi terkait jangka benah, yaitu kegiatan menanam tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit. 

Jangka benah wajib dilakukan sesuai tata kelola Perhutanan Sosial, penanaman tanaman melalui teknik agroforestri yang disesuaikan dengan kondisi biofisik dan kondisi sosial, menerapkan sistem silvikultur atau teknik budidaya, tanpa melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit selama masa jangka benah. 

”Pendekatan ultimum remedium diambil sebagai tindakan jalan tengah yang adil dan baik bagi semua pihak, termasuk untuk kelestarian hutan,” kata Agus.

  Dilema pemanfaatan sawit, antara energi alternatif atau kebutuhan pangan

2. Tak memiliki fungksi ekologis

Mengingat hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan, dan kebun sawit telah mendapatkan ruang tumbuhnya sendiri, maka saat ini tanaman sawit belum menjadi pilihan untuk dikategorikan sebagai jenis tanaman hutan ataupun untuk kegiatan rehabilitasi.

Agus menyebut, jenis tanaman pokok kehutanan untuk Hutan Lindung dan Hutan Konservasi harus berupa pohon penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan dapat berupa pohon berkayu dan tidak boleh ditebang.

Setelah selesai satu daur, maka lahan tersebut wajib kembali diserahkan kepada negara. Sementara untuk kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan Hutan Produksi diatur diperbolehkan satu daur selama 25 tahun. 

“Sedangkan yang berada di Hutan Lindung atau Hutan Konservasi hanya dibolehkan 1 daur selama 15 tahun sejak masa tanam dan akan dibongkar kemudian ditanami pohon setelah jangka benah berakhir,” tandas Agus.

3. Masuk golongan tanaman perkebunan

UUCK juga telah memperjelas bahwa sawit bukan tanaman hutan karena ada proses menghutankan kembali melalui jangka benah.

  Matoa, flora yang bermanfaat dari batang sampai ke biji

Ini jelas menggambarkan bahwa UUCK telah memposisikan secara jelas bahwa sawit tetap tergolong tanaman perkebunan. Ruang tanam sawit secara sah sudah ada mekanismenya dan sudah terang benderang pula pengaturannya. 

“Saat ini yang terpenting adalah bagaimana pelaksanaan PP24/2021 dapat kita kawal bersama agar efektif implementasinya, sehingga hutan bisa lestari dan rakyat tetap sejahtera” pungkas Agus.

Artikel Terkait