Bunga ini disebut anggrek hantu atau Gastrodia bambu. Nama ini diberikan karena bunga tersebut menyukai lingkungan yang gelap dan munculnya tidak terduga. Bunga ini juga tidak memiliki daun sehingga tidak bisa melakukan fotosintesis.
Populasi anggrek hantu pertama kali ditemukan pada akhir 2016 di Yogyakarta, tepatnya di Gunung Merapi pada ketinggian 800 mdpl. Setelahnya kembali ditemukan di Gunung Gede Pangrango, Bodogol, Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, pada ketinggian 800 mdpl pada 28 Januari 2017.
Bagaimana sebenarnya ciri khas dari bunga yang unik ini? Benarkan persebaran bunga ini hanya ada di Indonesia? Berikut uraiannya:
1. Bunga anggrek hantu

Pada ketinggian 800-900 mdpl, di antara rumpun bambu tua di Jawa Barat dan Yogyakarta, terkadang tampak bunga berwarna cokelat gelap dan mengkilap. Bentuknya seperti lonceng, memiliki panjang sekitar 1,7 – 2 cm dengan lebar 1,4 – 1,6 cm.
Ciri khas dari bunga ini adalah menyebarkan bau seperti ikan busuk. Bunganya tidak terbuka lebar. Namanya adalah anggrek hantu yang diberikan karena bunga dari kelompok holomikotropik ini menyukai lingkungan gelap dan muncul tidak terduga.
Setelah kemunculannya di permukaan tanah kemudian dalam waktu 1-2 minggu perbungaan, lalu tanaman ini akan layu, busuk, dan lenyap. Kehadirannya hanya pada satu periode pendek (2-4 minggu) dalam setahun. Diketahui persebarannya terbatas di Jawa dan telah ditetapkan sebagai bunga anggrek endemik Pulau Jawa.
“Diketahui semua populasi ini ditemukan sangat dekat dengan rumpun bambu tua. Tumbuhnya di tanah basah, mengandung serasah daun bambu yang sebagian membusuk, terutama di wilayah berkanopi lebat,” tulis Destario Mestula dan Jatna Supriatna dalam jurnal Phytotaxa berjudul Gastrodia bambu (Orchidaceae: Epidendroideae) A New Species from Java, Indonesia yang dimuat Mongabay Indonesia.
Bedasarkan penelitian bunga anggrek hantu tercatat akan bermunculan dari pertengahan Februari hingga pertengahan Maret, terutama di Gunung Merapi. Sedangkan di Gunung Gede Pangrango akan muncul pada pertengahan Januari hingga pertengahan Februari.
2. Tidak lagi endemik?

Ternyata keberadaan Gastrodia bambu ditemukan juga di Vietnam. Hal ini membuat tumbuhan tersebut tidak lagi dianggap endemik Pulau Jawa. Penemuan ini berawal dari peneliti berkebangsaan Rusia, Leonid Averyanof yang mempublikasikan sebuah spesies baru anggrek pada 2018.
Bunga ini berasal dari hutan Provinsi Son-La, Vietnam dan diduga sebagai spesies endemik yang terbatas. Penasaran atas hasil penemuan itu, Destario melakukan penelitian mengenai rekaman baru keberadaan anggrek hantu (Gastrodia bambu) di Vietnam itu.
Hasil observasi mendalam yang dilakukan Destario saat membandingkan kedua spesies Gastrodia tersebut menunjukan bahwa keduanya merupakan satu taksa yang sama. Dari hasil ini, kesimpulan penelitian disetujui oleh Professor Leonid Averyanof. Hasil penelitiannya dipublikasikan di Jurnal Phytotaxa pada 2020.
3. Butuh kondisi khusus

Destario menyebutkan anggrek hantu memerlukan kondisi yang sangat spesifik karena sensitif terhadap perubahan lingkungan. Spesies Gastrodia memiliki mikrozia spesif asosiasi sepanjang siklus hidup mereka yang membuatnya rentan terhadap gangguan habitat.
Tingkat kemunculan spesies ini diperkirakan kurang dari 5.000 kilometer persegi. Karena itulah populasi di Gunung Gede Pangrango berada di Taman Nasional dan dilindungi. Namun di Gunung Merapi diketahui ada beberapa yang berada di luar batas Taman Nasional.
Menurutnya kualitas habitatnya menurun cepat karena penebangan rumpun bambu untuk kayu gelondongan. Selain itu fenomena awan panas yang dilepaskan oleh Gunung Merapi juga menjadi ancaman lainnya. Destario menyatakan populasinya kini diperkirakan kurang dari seribu induvidu.
Merujuk data Direktorat Pembenihan Hortikultura Kementerian Pertanian Republik Indonesia yang dikutip dari Indonesia.go.id, saat ini telah teridentifikasi sekitar 750 famili, 43/000 spesies dan 35.000 varietas hibrida anggrek dari seluruh penjuru dunia.
Di Indonesia khususnya diperkirakan ada 5.000 spesies anggrek. Dari jumlah itu, 986 spesies tersebar di Pulau Jawa, 971 spesies berada di Pulau Sumatra, 113 spesies tumbuh di Kepulauan Maluku, dan sisanya ditemukan di Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara, dan Kalimantan.