Cajuputi merupakan spesies yang berasal dari kata dalam bahasa Indonesia, yakni kayu putih. Ahli Botani asal Belanda, Karel Heyne (1877-1947) mencatat aktivitas penyulingan daun untuk memperoleh minyak kayu putih di Ambon.
Minyak kayu putih sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari. Kandungan kesehatannya dipercaya bisa mengobati beragam penyakit, seperti masuk angin hingga batuk. Bahkan saat pandemi Covid 19, kayu putih dipercaya bisa mencegah penyakit tersebut.
Lalu bagaimana sejarah penyulingan minyak kayu putih? Dan apa sebenarnya khasiat dari tanaman tersebut? Berikut uraiannya:
1. Menemukan minyak kayu putih

Idrus Hentihu yang lahir dan tumbuh besar di Pulau Buru masih mengingat, bila flu mereka akan segera mengonsumsi minuman minyak kayu putih yang dicampur dengan air hangat. Mahasiswa ini tetap melakukannya meski jauh dari tanah kelahirannya.
“Tradisi lain mencampurkan beberapa tetes minyak kayu putih dalam anggur atau bir lalu meminumnya untuk menghilangkan keringat,” tulis Argohartono Arie Raharjo dalam Minyak Kayu Putih: dari Kebun ke Botol terbitan Trubus.
Masyarakat Pulau Buru, Provinsi Maluku, merendam daun dan bunga kayu putih dalam minyak. Masyarakat Ambon lalu mengasap rendaman itu dengan kemenyan untuk memperoleh minyak rambut.
Ahli Botani asal Belanda, Karel Heyne (1877-1947) mengisahkan tradisi tersebut pada era 1600-1700 dalam Tumbuhan Berguna Indonesia. Itulah saat era George Eberhard Rumphius, ilmuwan asal Jerman, berdiam di Ambon.
Dalam catatannya Heyne menyebutkan minyak itu hasil distilasi atau penyulingan daun pohon kayu putih Melaleuca Cajuputi. Nama spesies cajuputi berasal dari kata dalam bahasa Indonesia, yakni kayu putih.
Heyne mencatat aktivitas penyulingan daun untuk memperoleh minyak kayu putih oleh pendatang Eropa pada 1914. Dia menggolongkan kayu putih dan kayu gelam sebagai spesies sama M leucadendra.
“Kemudian pada 1977, botani dunia merombak nomenklatur itu. kayu putih dikelaskan sebagai spesies dan subspesies terpisah” jelasnya.
2. Penyebaran budidaya

Kini budidaya dan penyulingan daun tanaman anggota famili Myrtaceae bukan hanya di Buru dan Ambon, tetapi meluas ke berbagai wilayah seperti Yogyakarta dan Jawa Barat. Misalnya di Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul pada 1998.
Periset kayu putih dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemulihan Tanaman Hutan (BBPBPTH), Dr Anto Rimbawanto mengumpulkan berbagai jenis kayu putih sejak 1995.
Periset kelahiran Kota Metro, Lampung ini menjelajah ke sentra pohon genus Melaleuca di Indonesia bagian timur. Dia menyambangi pulau Buru, Seram, Ambon dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, serta wilayah utara Australia.
Hasilnya berupa 400 koleksi buah dan kayu putih. Dirinya lantas menyuling daun, lalu menandai koleksi yang menghasilkan rendemen tinggi. Dari 400 sampel itu, hanya 20 yang layak dikembangkan.
“Rendemen suling daun lebih dari 1 persen dan mempunyai sineol,” kata Anto,
Sineol (cineole) adalah zat yang menimbulkan rasa hangat di kulit. Zat serupa juga dimiliki ekaliptus asal Tiongkok, yang menjadi bahan tambahan produk minyak kayu putih komersial. Dari 20 varian yang dia tanam, di dapat 2-3 varian terbaik.
Selain di Gunung Kidul, Anto dan timnya juga menguji multilokasi di Kabupaten Kampar, Riau dengan luas 10 hektare, Kabupaten Lampung Utara, Lampung 5 hektare, Bangkalan, Jawa Timur 5 hektare dan Biak, Papua Barat 10 hektare.
3. Petani yang mendapat berkah

Anto dan timnya pernah kembali ke Ambon untuk memperkaya genetik kayu putih. Namun meski menjadi ibu kota genus Melaleuca, masyarakat sekitar kurang menghargai potensi kayu putih.
Disebutkan oleh periset dari Kelompok Penelitian Konservasi Sumber Daya Genetik BBPBPTH, Prastyono setelah memanen, lahan kayu putih akan mereka bakar agar memunculkan tunas baru.
Padahal efeknya pohon tidak sempat menghasilkan buah sehingga variasi genetik sempit. Tunas kayu putih yang muncul usai terbakar mesti bersaing dengan gulma seperti alang-alang Imperta cylindrica maupun putri malu Mimosa pudica.
BBPBPTH sendiri menyerahkan kebun koleksi itu kepada masyarakat sekitar dengan pola KHDTK. Dengan pola itu, warga sekitar boleh memanfaatkan lahan di sela pohon untuk menanam secara tumpangsari.
“Sejak Desember 2019, mereka memanfaatkan minyak kayu putih dengan hasil sulingan itu untuk kalangan sendiri,” catat Prastyono.
Menurutnya saat ini harga minyak kayu putih lumayan, sampai Rp200 ribu per liter. Pohon mulai panen umur 18 bulan menghasilkan 3 kg daun per pohon. Dengan populasi 5.000 pohon per hektare (jarak tanam 1 m x 2 m) dan rendemen minimal 1 persen.
Para pekebun mendapatkan 15 ton daun yang menjadi 150 kg minyak senilai total Rp30 juta per panen. Pohon bisa panen 2 kali setahun sehingga omzet tahunan pekebun bisa mencapai Rp60 juta per tahun.
Kelompok tani Kofarwos di Kampung Rimbajaya, Distrik Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor, Papua Barat juga menyuling minyak kayu putih sejak 2018. Mereka memanfaatkan daun kayu putih di KPHL Biak Numfor.
“Kofarwis memproduksi minyak kayu putih dan mengemas dalam botol roll-on. Pemasaran produk itu sampai ke Manokrwari dan Jayapura,” paparnya.