3 fakta polemik pertambangan nikel di Pulau Wawonii

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Aksi penolakan tambang di Wawonii (Kamaruddin for Mongabay via Flickr)

Tak pernah surut konflik yang terjadi antara perusahaan tambang dengan masyarakat di wilayah tertentu, kali ini pertentangan yang menyita perhatian datang dari masyarakat penduduk Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara dan salah satu perusahaan yang melakukan penambangan nikel bernama PT Gema Kreasi Perdana (GKP).

Akar masalahnya, konflik yang selama beberapa hari ke belakang ini ramai diperbincangkan adalah karena adanya penolakan eksplorasi tambang yang dilakukan di salah satu desa Pulau Wawonii yakni Roko-Roko Raya.

Bentuk konfliknya pun masih sama, PT GPK dicurigai melakukan sederet pelanggaran mulai dari aktivitas penambangan ilegal yang dalam praktiknya disebut menyerobot lahan warga.

Belum lagi penolakan yang keras digaungkan muncul karena adanya potensi kerusakan lingkungan mulai dari pencemaran 7 sungai sumber kehidupan, hingga kerusakan ekosistem pesisir laut.

Meski begitu, nyatanya tak sedikit pula sebagian masyarakat lain yang tetap mendukung aktivitas pertambangan PT GPK, dengan pandangan akan terbukanya perekonomian dan kesejahteraan masyarakat lewat pembukaan lapangan kerja.

Menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat lokal sendiri, seperti apa sebenarnya fakta yang terjadi di lapangan?

  Krisis iklim yang bawa malapetaka banjir bandang di Korea Selatan

1. Pulau Wawonii masuk kategori tak boleh ditambang

Pulau Wawoni (Kamaruddin/Flickr)

Sebelum membahas lebih luas mengenai dampak kerusakan lingkungan, sejatinya sedari awal sudah ada bukti kuat yang mendasari jika segala aktivitas penambangan yang terjadi di Pulau Wawonii tidak dibenarkan.

Hal tersebut lantaran luas wilayah Pulau Wawonii sendiri yang diketahui hanya ada di kisaran 715 km persegi. Sementara itu jika menilik Pasal 23 (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014, ditegaskan jika pulau dengan luas kurang dari 2.000 km persegi masuk ke dalam kategori pulau kecil dan dilarang untuk ditambang.

Namun entah bagaimana awalnya, PT GPK menyatakan jika mereka sudah memiliki izin pertambangan secara resmi, dan parahnya lagi hal tersebut juga dikonfirmasi secara langsung oleh Wakil Bupati Konawe Kepulauan, yakni Andi Muhammad Lutfi.

2. Deretan dampak kerusakan lingkungan

Terumbu karang di laut Pulau Wawonii yang terancam aktivitas pertambangan (wawan mangile wawan/Flickr)

Lain itu, penolakan keras dari masyarakat Pulau Wawonii juga memiliki alasan kuat berupa sederet fakta potensi perusakan lingkungan yang tak terelakkan. Pertama, mengenai potensi kerusakan yang akan berdampak pada 7 sungai yang berada di desa sekitar area pertambangan.

  Ketika para bandit terisolasi dan terpenjara di Pulau Eksotis

Menurut penjelasan Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara, lokasi pertambangan PT GKP sendiri diketahui berada di dataran yang lebih tinggi dari pemukiman warga, adanya pertambangan otomatis harus menggarap sebuah jalan yang berpotensi menutup sungai.

Padahal, sungai-sungai tersebut berada di sekitar kebun warga dan memiliki pengaruh langsung sebagai sumber kehidupan dalam bentuk mata air minum maupun sebagai sumber mata air untuk mengairi perkebunan.

Lain itu, penelitian Walhi pada tahun 2019 juga memperhitungkan jika dalam jangka waktu panjang operasional tambang tidak hanya akan memengaruhi sungai, melainkan juga ekosistem di pesisir pantai berupa kerusakan terumbu karang, karena limbahnya diyakini akan mengalir dari atas hutan hingga ke pesisir laut.

“Dalam jangka waktu lama, kerusakan terumbu karang akan terus meluas jika proyek pertambangan tidak dihentikan,” ujar Fanny Tri Jambore Christanto selaku Manajer Pengkampanye Tambang dan Energi Walhi, mengutip CNN Indonesia.

3. Kesejahteraan warga yang terancam

Warga Pulau Wawonii (Tri Ilmiah Fattah/Flickr)

Bukan hanya dari segi perusakan lingkungan, konflik juga terjadi karena adanya dugaan penyerobotan lahan warga yang dilakukan oleh PT GKP. Sementara itu di lain pihak PT GKP sendiri memastikan jika mereka sudah memiliki lahan yang dimaksud melalui proses jual beli lahan yang berlangsung secara resmi

  Peran Rawa Biru sebagai sumber air bersih bagi warga Merauke

Menurut klaimnya, pihak PT GKP melakukan transaksi pembelian lahan seluas 3.300 meter persegi yang berlokasi di desa Sukarelajaya RT03 RW03 Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, dengan salah seorang warga bernama Ibu Wasasinah secara sah, pada tanggal 22 November 2021 lalu.

Sementara itu kembali ke persoalan ungkapan mengenai sebagian warga yang menganggap jika adanya pertambangan bisa membuka lapangan kerja baru, sebenarnya sebelum ada pertambangan diketahui jika beberapa warga sudah memiliki potensi penghasilan dari aktivitas perkebunan dan perikanan.

Dalam pewartaan Mongabay Indonesia bahkan disebutkan, jika beberapa masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan bisa memperoleh tangkapan hasil tuna mencapai 15 ton per bulannya.

Namun apabila daerah pesisir dan lautan tercemar akibat aktivitas tambang, hal tersebut jelas akan memberikan pengaruh kepada kesejahteraan masyarakat yang berprofesi sebagai petani maupun nelayan.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata