Kabupaten Singkil tidak boleh terlewatkan bila berbicara mengenai perjalanan kejayaan Aceh. Meski terpencil, Singkil pernah memainkan peranan penting dalam sejarah peradaban di bumi Serambi Mekkah.
Tetapi bencana tsunami mengubah wajah kota Singkil. Penduduk Singkil menyebrang dan menetap di daerah baru yang kini disebut Singkil Baru setelah galoro (tsunami) menghancurkan pelabuhan, benteng Belanda, dan perkampungan pada tahun 1935.
Lalu bagaimana sisa peradaban Kota Singkil saat ini? Dan mengapa tempat itu ditinggalkan oleh masyarakat? Berikut uraiannya:
1. Kota yang jaya

Kabupaten Singkil tidak boleh terlewatkan bila berbicara mengenai perjalanan kejayaan Aceh. Meski terpencil, Singkil pernah memainkan peranan penting dalam sejarah peradaban di bumi Serambi Mekkah.
Pada abad ke 16, nama Singkil sudah dikenal bersama dengan Barus di Sumatra Utara yang saat itu menjadi kota pelabuhan ramai di pesisir pantai barat Sumatra. Ketika Sultan Iskandar menguasai Aceh dan berjaya di pantai barat, Singkil dikuasai raja-raja kecil.
“Sisa kerajaan itu sudah tidak ada. Sisa yang masih ditemukan hanya permukiman Singkil Lama,” kata Abdul Rajak, keturunan ketiga Datuk Singkil Lama yang bernama Abdul Murad yang dimuat Kompas.
Dirinya merupakan salah satu warga Singkil Lama yang selamat dari tsunami dan pindah ke Singkil serta ikut membangun perkampungan itu. Rumah peninggalan Abdul Murad berangka tahun 1904, masih kokoh berdiri dan menjadi dokumen sejarah.
Di daerah itu juga ditemukan bangunan kantor pos yang pernah didirikan Belanda dan makam Syekh Abdurrauf al Singkili, ulama besar Singkil. Kini jejak ajaran ulama besar ini masih terkubur di kota Singkil Lama.
Di Singkil terjadi percampuran berbagai macam suku, seperti Jawa, Medan, Nias, Padang, Aceh. Percampuran itu menghasilkan 26 suku baru atau sub etnis di Singkil. Walau kini pemukiman ini telah ditinggalkan.
2. Sisa kejayaan kota pelabuhan

Moehammad Saleh dalam otobiografinya Riwayat Hidoep dan Perasaian Saja (1965) menuliskan sampai pertengahan abad ke 19, kota Singkil masih menjadi salah satu pusat perdagangan.
“Sekitar awal 1861, Saleh berlayar ke Singkil untuk berdagang. Dia menginap beberapa hari lalu kembali berlayar ke Pariaman, Sumatra Barat,” tulisnya.
Tetapi gelombang dahsyat yang menerjang Singkil sekitar tahun 1890-an menghancurkan peradaban Kota Pelabuhan Singkil Lama. Padahal Singkil Lama merupakan pelabuhan maju yang menarik bangsa Eropa dan Asia menetap di sana.
Bukti majunya peradaban masa lalu Singkil bisa dilihat dari benda-benda berharga yang ditemukan di sisa reruntuhan Kota Singkil Lama. Mulai dari Al Qur’an antik berukuran mini, piring anti basi, guci, pot bunga serta botol buatan Eropa.
“Diyakini benda-benda itu milik orang kaya pada masanya,” tulis Dede Rosandi dalam Singkil Lama Kota yang Hilang, Bukti Peradaban Tersisa: dari Alquran Antik hingga Piring Anti Basi.
3. Ditinggalkan

Bencana tsunami mengubah wajah kota Singkil. Penduduk Singkil menyebrang dan menetap di daerah baru yang kini disebut Singkil Baru setelah galoro (tsunami) menghancurkan pelabuhan, benteng Belanda, dan perkampungan pada tahun 1935.
Musibah gempa tahun 2005 juga membuat penduduk Kilangan berpindah lagi ke tempat yang lebih tinggi. Permukiman lama mereka di Singkil Baru ditinggalkan karena banyak bangunan, termasuk masjid kampung, ambles sampai 1,5 meter akibat gempa.
Singkil Lama kini menjadi daerah yang ditinggalkan. Disebutkan oleh Gatot, agar sampai ke sana dibutuhkan waktu dua jam perjalanan pergi-pulang menggunakan perahu kecil bermotor tempel dari dermaga Kampung Kilangan.
Dijelaskannya kondisi Kampung Singkil Lama telah rata dengan tanah. Hanya tersisa tonggak pohon yang masih berdiri tegak, tetapi sudah mati. Di kampung lama itu terdapat jejak kehidupan, seperti anak tangga, sumur, pecahan botol, keramik dan uang logam
Sungai Singkil sendiri kini hanya berperan menjadi sumber mata pencaharian sebagian warga untuk mencari ikan dan kerang. Cerita kejayaan pada zamannya seperti hanyut tersapu derasnya Sungai Singkil.
“Yang tersisa hanya cerita tentang kampung nelayan kumuh yang masih hidup berdampingan dengan si Nenek Limbong,” pungkasnya.