Jelajah Lembah Baliem, perkampungan Papua yang dikagumi petualang Eropa

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Lembah Baliem (spencer_history/Flickr)

Ketika Papua ditemukan oleh para petualang di masa lampau, orang asli yang mendiaminya dinilai telah memiliki peradaban tinggi. Di Baliem, lembang agung itu, warga sebenarnya juga telah mengenal sistem pertanian yang unggul.

Lereng dan lembah yang curam sudah digarap secara intensif dan efektif, serta dilengkapi dengan jaringan irigasi. Namun tradisi itu mulai tersisih, sistem dan jaringan ekonomi modern telah menggerusnya.
.
Lalu bagaimana perjalanan peradaban di Lembah Baliem? Dan bagaimana perlunya merawat tradisi tersebut? Berikut uraiannya:

1. Lembah Baliem

Lembah Baliem (aklam panyun/Flickr)

Ketika Papua ditemukan oleh para petualang di masa lampau, orang asli yang mendiaminya dinilai telah memiliki peradaban tinggi. Di Baliem, lembang agung itu, warga sebenarnya juga telah mengenal sistem pertanian yang unggul.

Disebutkan permukiman dibuat dengan teliti dan memiliki fungsi yang berbeda. Ada rumah khusus untuk laki-laki, ada pula rumah khusus untuk perempuan dan anak-anak. Bahkan, ada rumah api (dapur) dan kandang yang ditempatkan terpisah.

Menukil laporan ekspedisi Kremer pada tahun 1920 mencatat bahwa saat tim ekspedisi tiba di Swart Vellei yang saat itu dikenal sebagai Karubaga, Kabupaten Tolikara, warga setempat telah membuat jembatan gantung.

  Peran orang Moi yang menjaga hutan Klasow, Papua Barat

“Tim itu tak hanya mengagumi teknik pembuatan jembatan, tetapi juga kagum dengan pengaturan ladang, serta penataan perkampungan warga,” tulis JON, HES, dan JOS dalam Lembah Baliem: Saat Petualang Lihat Papua terbitan Kompas.

Ketika mereka berjumpa dengan masyarakat Dani yang menghuni lembah itu, kekaguman itu semakin tinggi. Sebab, ternyata masyarakat Dani juga memiliki sikap yang ramah. Laporan tersebut menyebut mereka banyak belajar dari Suku Dani.

2. Nilai-nilai yang diwarisi

Lembah Baliem (Stefan Hajdu/Flickr)

Misionaris asal Belanda, Frans yang tiba di Baliem pada tahun 1964 menyebut ada banyak nilai baik yang sejak lama telah diwarisi warga Baliem dari nenek moyang mereka. Selain kepiawaian dalam bercocok tanam, mereka juga bisa mengatur jarak kelahiran.

“Itu dilakukan agar orang tua dapat memperhatikan pertumbuhan anak yang lahir dengan baik. Setelah anak itu dinilai mampu mandiri, orang tua juga baru mulai merencanakan kembali memiliki anak,” jelasnya.

Disebutkan oleh Frans, masyarakat Dani memiliki aturan ketat terhadap relasi pemuda dan pemudi. Mereka juga mengenal pembagian peran dalam komunitas terkait perang dan pengelolaan lahan pertanian.

  Ketika para bandit terisolasi dan terpenjara di Pulau Eksotis

“Perang dibicarakan di honai (rumah adat) untuk perang dengan dipimpin oleh panglima perang. Pembicaraan tentang panen dan pesta adat dibicarakan di honai lain yang dipimpin tua-tua yang dipilih sebagai pengelola kesejahteraan,” kata Yulianus Hisage, Ketua Dewan Adat Suku Hubula, Lembah Baliem.

Tetapi jelas Yulianus, zaman telah berganti dan Papua semakin terbuka. Dunia baru dan peradaban serta pengaruhnya, baik dan buruk masuk dan sulit dibendung. Tetapi cara pandang warga Papua kepada dunia memiliki perbedaan.

3. Bertahan dari modernisasi

Lembah Baliem (spencer_history/Flickr)

Masyarakat Lembah Baliem dahulu adalah pejalan kaki. Mereka kerap berpindah tempat mencari penghidupan yang lebih baik. Setelah mengenal bercocok tanam, mereka tinggal di lereng-lereng pegunungan, tengah hutan dan tepian sungai sebagai satu komunitas adat.

“Pada masa-masa awal itulah tercatat pula mata rantai perdagangan melintasi gunung yang dilakukan antar suku,” paparnya.

Mereka berjalan kaki menuju titik-titik temu perjalanan dan bertukar atau hasil buruan dengan suku-suku lain. Tetapi tradisi ini mulai tersisih karena tergerus jaringan ekonomi modern menggerusnya.

  7 kawasan Taman Nasional Indonesia yang masuk daftar ASEAN Heritage Park

Yohanes Lokobal, Kepala Suku Asolokobal, menilai perubahan itu membuat banyak orang yang tinggal di pedalaman akhirnya mengalir ke kota untuk mencari uang. Ada yang bekerja secara layak seperti pegawai ada juga yang serabutan.

“Dahulu, kami selalu mengajarkan cara-cara memanah, berburu, dan membangun honai. Namun beberapa tahun terakhir ini semuanya mulai ditinggalkan. Banyak orang sibuk mencari uang di kota,” katanya.

Aktivis Yayasan Huminane (Suara Perempuan) Wamena, Patricio Wetipo menyebut simbol modernitas itu ternyata juga mengubah relasi sosial dalam komunitas masyarakat di Lembah Baliem.

Karena itu menurutnya pembangunan dan perubahan di Papua harus diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia, terutama warga asli Papua. Hal ini penting karena pembangunan di Papua bukan hanya infrastruktur.

Artikel Terkait