Soa-soa layar, dinosaurus asal Indonesia yang populasinya terancam

Soa-soa layar, dinosaurus asal Indonesia yang populasinya terancam – Soa-soa layar merupakan hewan endemik yang ditemukan di wilayah Indonesia Timur, seperti Sulawesi daerah Latimojong, Pampama, Tempe, Poso, Makassar, Paloppo, dan Manado. Hewan ini juga hidup di Kepulauan Maluku seperti Kepulauan Togean, Ambon, Seram, Bacaan, Ternate, Halmahera, Buton, Papua, sampai Filipina.

Orang Sulawesi banyak menyebutnya dengan nama “picara”. Hewan yang memiliki nama ilmiah Hydrosaurus amboinensis ini dianggap sebagai dinosaurus yang masih bertahan hidup. Dari nama latinnya diketahui bahwa hewan ini pertama kali ditemukan di Pulau Ambon.

Lalu apa sebenarnya hewan soa-soal layar ini? Mengapa hewan ini dipercaya sezaman dengan dinosaurus? Berikut uraiannya:

1. Hewan dari zaman purba

Soa-soa layar dikalangan penghobi dikenal dengan nama Saigon (singkatan dari Salifin Dragon). Kadal air ini memiliki kemampuan berlari dan berenang yang cukup cepat. Soa-soa dapat tumbuh mencapai panjang 1 meter dan merupakan kadal agamid terbesar di dunia.

Reptil ini mempunyai penampakan fisik mirip dengan iguana dan komodo. Hanya saja dia memiliki keunikan di bagian mata, yakni berwarna biru. Seperti komodo, soa-soa layar adalah salah satu hewan purba asli Indonesia yang masih hidup.

Secara morfologis, tubuh soa-soa layar berbentuk slindris, berwarna cenderung gelap atau cokelat kehijauan. Kepalanya kecil dengan moncong panjang dan bentuk lubang hidup oval yang terletak pada bagian ujung moncongnya.

Pada bagian kepalanya  terdapat punuk besar dan kecil, sementara tubuh bagian belakang memiliki tulang lanset besar yang ditutupi sisik kecil. Reptil besar ini mempunyai empat tungkai panjang pada bagian kaki depan dan belakang terdapat sirip kulit.

Soa-soa layar juga memiliki pangkal ekor yang tebal dan tumbuh sirip menyerupai layar pada soa-soa jantan. Panjang ekor hewan ini bisa mencapai dua kali panjang tubuhnya.

2. Kehidupan Soa-soa layar

Soa-soa layar hidup dalam habitat pepohonan yang berada di sekitar aliran sungai atau kolam. Mereka hidup dengan memakan tanaman seperti daun, buah-buahan dan biji-bijian. Mereka juga biasa mengonsumsi hewan seperti serangga dan tikus dan kaki seribu.

Reptil ini mampu hidup hingga usia 15 tahun. Mereka biasanya memiliki 5-9 butir telur, dan hanya sekali bertelur dalam waktu setahun. Proses penetasan telur-telur tersebut membutuhkan waktu sekitar 65 hari. Soa-soa juga memerlukan air yang baik, persediaan makanan dan kondisi lingkungan yang tidak terganggu.

Biasanya soa-soa kecil tak menyelam, tetapi akan berlari dengan posisi tegak, menggoyangkan kaki dengan cekatan, lalu ekor bergoyang cepat. Serupa sedang berjalan di atas air. Ketika masih anak, soa-soa tak ubahnya cicak saat dewasa.

Saat dewasa, barulah reptil ini menampakkan perubahan wujud yang menyeramkan. Badan kadang dominan hitam. Mulai kepala hingga ekor ditumbuhi duri kecil. Pada soa-soa jantan bagian pangkal ekor bahkan tumbuh berbentuk layar. Tidak salah jika soa-soa dijuluki pula minatur dinosaurus.

3. Reptil yang mulai terancam

Pada sebuah laporan yang disusun oleh Iqbal Setiadi dan Amir Hamidy atas kerjasama antara Pusat Studi Biodiversitas, Konservasi Universitas Indonesia, Museum Zoologicum Bogoriensi dan Puslit Biologi LIPI menyebut reptil ini merupakan jenis yang dilindungi karena memiliki penyebaran yang terbatas.

Soa-soa biasanya dapat dijumpai di sekitar aliran sungai, muara, dan mangrove. Hewan ini biasanya aktif pada siang hari dan sering terlihat berjemur di atas bebatuan dan pohon mati di pinggir sungai. Sedangkan pada malam hari, reptil ini biasa tidur di dahan pohon yang berada di dekat sungai atau danau.

Bedasarkan PP No.7 Tahun 1999, soa-soa termasuk jenis satwa yang dilindungi Undang-undang. Penangkapan di alam tanpa seizin pihak berwenang merupakan perbuatan melanggar hukum yang bisa dikenai sanksi. Peraturan ini muncul karena semakin meningkatnya perburuan terhadap hewan purba ini.

Dipaparkan Mongabay Indonesia, Siady Hamzah yang meneliti soa-soa di Maros tahun 2011 pada penelitiannya menulis, anakan satwa ini dihargai Rp300 ribu per ekor. Sementara untuk skala perdagangan internasional bisa dihargai sekitar 250 dolar di Amerika dan 330 Euro di pasar Eropa.

Selain perburuan, satwa ini juga terancam karena laju deforestasi hutan yang semakin meningkat. Kadal ini memerlukan habitat yang baik agar tetap bertahan. Karena kondisi yang ada, memberikan ancaman terhadap keberlangsungan hidup kadal yang masih berkerabat dengan iguana ini.