Labuan Bajo jadi salah satu destinasi wisata yang bisa dibilang paling populer di Indonesia saat ini. Terutama pasca pulihnya pandemi dan meningkatnya kunjungan wisatawan baik lokal atau mancanegara. Jumlah aktivitas hiburan yang berjalan di wilayah favorit Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur ini juga kian meningkat.
Di saat bersamaan, peningkatan sama juga terjadi dalam hal sampah yang dihasilkan. Pada tahun 2021, menurut catatan Badan Pelaksana Otorita Labuan Baju Flores (BPOLBF), rata-rata timbulan sampah Labuan Bajo mencapai 112,4 meter kubik per hari. Di mana ketika diperhitungkan dalam jumlah bobot, banyaknya mencapai kisaran 13 ton per hari. Banyaknya sampah tersebut juga sudah pasti termasuk sampah plastik.
Shan Fatina, Direktur Utama BPOLBF mengungkap bahwa kondisi tersebut merupakan persoalan yang perlu mendapat tindak lanjut. Pasalnya, Labuan Bajo beberapa kali menjadi lokasi beberapa rangkaian acara untuk gelaran KTT G20 2022.
“Sampah di Labuan Bajo menjadi salah satu isu serius dalam kepariwisataan.” ujar Shana, Kamis (2/5/2021), dalam Liputan6.com.
1. Mengenal SPS Warloka

Bicara mengenai titik pengelolaan sampah, fasilitas yang dimaksud di Laboan Bajo sendiri berlokasi di Desa Warlok (SPS Warloka). Di SPS tersebut, terdapat Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), yang memiliki peran masing-masing.
SPS Warloka (termasuk TPST) sebenarnya sudah dibangun sejak Agustus 2020 dan selesai di bulan November 2021. Pembangunan fasilitas ini menelan anggaran hingga Rp46,4 miliar. Lain itu ruang lingkup fasilitas yang ada meliputi jembatan timbang, unit penerimaan sampah, dan pemilahan. Ada juga fasilitas pengeringan, unit pengendali pencemaran udara dan air, serta sistem kontrol.
Sementara TPA Warloka sendiri sebagai fasilitas pelengkap dibangun pada Juni-Desember 2021 dengan anggaran Rp19,3 miliar. Fasilitasnya meliputi hanggar, jalan operasional, unit pengurukan residu, unit penolahan air lindi, dan landmark.
2. Kapasitas pengelolaan sampah

Mengenai kapasitas pengolahan sampah, TPST Warloka beroperasi untuk dapat mengolah sampah dengan kapasitas 20 ton per hari. Sementara pada bagian TPA dapat memproses sampah akhir yang telah diolah di TPST, menjadi residu abu dengan kapasitas 2 ton per hari.
Dengan adanya kapasitas ini, maka persoalan sampah yang ada di Labuan Bajo semestinya bisa tertampung dan terkelola dengan baik.
Di sisi lain, terungkap kalau hasil akhir pengelolaan sampah di SPS Warloka ternyata bisa dimanfaatan sebagai material bangunan. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono yang menjelaskan hasil akhir dari kapasitas kerja SPS Warloka.
Menteri Basuki juga mengungkap mengenai kemungkinan menambah kapasitas atau fasilitas serupa. Hal tersebut memungkinkan kalau produksi sampah di Labuan Bajo nyatanya memang meningkat.
“Kita bisa tambah kapasitas SPS bila produksi sampah meningkat. Namun, manajemen sampah tidak bisa hanya mengandalkan TPAS saja, tetapi harus dari awal dikelolanya.” ujar Menteri Basuki.
3. Detail abu sampah sebagai bahan bangunan

Yang dimaksud dengan pemanfaatan residu sampah berupa abu sebagai material bangunan, selama ini memang bisa dan banyak digunakan untuk membuat paving block. Di mana dalam proses pembakaran sampah, memang biasanya dihasilkan abu terbang dan abu dasar dalam jumlah banyak.
Apabila dibiarkan, abu tersebut sejatinya tetap akan menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Apalagi, tadinya limbah abu terbang dan abu yang jatuh ke tanah atau Fly Ash Bottom Ash (FABA) sempat dikategorikan limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3).
Meski kini FABA sendiri sudah dikeluarkan dari kategori tersebut, tapi dalam industri pengelolaan abu sampah menjadi paving block tetap dilakukan serangkaian pengujian. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya potensi bahaya dan racun dari abu yang digunakan.
Sementara itu dalam proses pembuatannya, abu sampah yang dipakai juga diolah dengan melalui proses solidifikasi yang bersifat ramah lingkungan. Sehingga keberadaannya akan lebih bermanfaat dan bernilai.