Di masa kini, rasanya susah-susah-gampang bertemu kalangan yang punya kepedulian tinggi terhadap kehidupan satwa. Apalagi kalau satwa yang dimaksud spesifik mengarah ke spesies tertentu, berstatus langka, dan berstatus endemik. Bukan berarti tidak ada, nyatanya tetap ada orang yang memiliki kepedulian akan isu tersebut, salah satunya Amalia Rezeki.
Amalia bukanlah sosok baru di kalangan pegiat lingkungan, khususnya pelestarian satwa. Ia dikenal karena kepeduliannya terhadap salah satu jenis satwa endemik Kalimantan, yakni Bekantan.
Perhatian Amalia terhadap primata unik tersebut bahkan membuat dirinya dikenal oleh kalanagn primatology dunia, mulai dari Amerika Serikat hingga Australia. Bagaimana awal mula Amalia bisa menjadi sosok yang begitu peduli terhadap bekantan? Berikut kisahnya.
1. Mengenal Amalia Rezeki

Selain dikenal sebagai konservasionis, Amalia sebenarnya dikenal juga sebagai seorang dosen Program Studi Pendidikan Biologi, di Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Ia mulai menjajaki dunia pelestarian lingkungan sejak tahun 2010, saat bekerja di Pusat Studi & Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia.
Sejak saat itu, kepeduliannya terhadap satwa semakin besar dan perhatiannya semakin terfokus kepada spesies bekantan. Bahkan, salah satu sumber menyebut bahwa Amalia merupakan perempuan pertama Indonesia, yang mendedikasikan hidupnya dalam menjaga kehidupan satwa tersebut.
Terbukti, karena pada akhirnya Amalia mendirikan sebuah gerakan/yayasan sukarelawan bernama Sahabat Bekantan Indonesia (SBI). Gerakan tersebut ia dirikan padat tahun 2013, yang fokus utamanya saat itu melakukan upaya penyelamatan terhadap satwa bekantan.
Lebih detail, Amalia dan anggota relawannya melakukan gerakan perawatan terhadap bekantan yang sakit, kehilangan induk, atau ditemukan dalam keadaan sekarat.
Sebenarnya ada beberapa alasan lain yang membuat Amalia lebih fokus memilih mencurahkan perhatiannya kepada Bekantan. Salah satunya adalah karena sebagian besar pusat konservasi banyak yang sudah lebih fokus memperhatikan satwa lain, salah satunya orangutan.
“Itulah sebabnya kami memilih berkonsentrasi menyelamatkan bekantan. Juga karena saya sendiri memang asli Kalimantan Selatan,” ujar Alamia, mengutip Channel News Asia.
2. Awal yang berliku
Dijelaskan Amalia, bahwa awalnya mendirikan SBI juga bukan hal yang mudah. Amalia mengaku ia dan sukarelawan SBI lain harus merogoh kantong sendiri, untuk membiayai program-program mereka.
Namun kini, gerakan tersebut sudah cukup berkembang, dan menjadi organisasi yang memiliki 20 pegawai permanen. Lain itu, ada juga sebanyak 200 sukarelawan yang dijadwalkan membantu secara berkala.
Program yang dijalankan bersama para relawan biasanya berupa penyuluhan tentang bekantan di sekolah-sekolah, kursus pendek, program magang, dan lain-lain. Lain itu, SBI juga membuka pusat penyelamatan bekantan di Banjarmasin, ibu kota lama Kalimantan Selatan.
Menurut penjelasan Amalia, fasilitas pusat penyelamatan tersebut menangani rehabilitasi bagi bekantan yang mengalami kondisi tak wajar. Misalnyan bekantan yang diselamatkan dari kebakaran hutan, perdagangan ilegal, dan konflik dengan masyarakat di tepi hutan.
3. Gambaran kondisi bekantan

Sebagai hewan endemik Kalimantan, Amalia menyadari penuh jika bekantan mengalami ancaman kepunahan yang sama serius layaknya orangutan. Karena itu, misi utama SBI adalah untuk menyelamatkan bekantan dari kepunahan.
Menurut Daftar Merah IUCN, bekantan digolongkan sebagai binatang langka yang kehilangan habitat. Bisa ditebak, pemburuan adalah penyebab utama populasi bekantan menyusut lebih dari 50 persen pada 50 tahun terakhir.
Amalia juga memperkirakan dua tahun lalu (2019) jumlah bekantan di Kalimantan Selatan tinggal 3.200, menurun dari 5.000 di tahun 2013.
“Ini adalah tanggung jawab kami sebagai warga negara Indonesia. Kami sadar banyak orang asing bekerja bagi Lembaga Swadaya Masyarakat di sini yang mengurusi konservasi. Namun, yang sedang terancam adalah keanekaragaman hayati Indonesia. Kitalah yang harus melakukan sesuatu,” tegasnya.