Jika berkunjung ke Desa Kalisalak, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, sekilas mungkin tak akan nampak hal berbeda yang membuat desa ini lebih istimewa dibanding desa seperti pada umumnya.
Terlihat normal, beberapa luas tanah persawahan membentang, aliran airnya pun mengalir dengan bersih, terlebih untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Namun di balik itu semua, ada kisah dan perjuangan di masa lampau yang tidak atau belum semua orang luar tahu.
Desa Kalisak punya cerita, tentang perjuangan 8 orang bahadur, atau pahlawan yang telah meluangkan baik tenaga, waktu, dan pikiran untuk menopang kehidupan masyarakat desa tersebut pada kisaran beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, agar mereka semua bisa mendapatkan pasokan air bersih untuk hidup.
Memiliki makna yang sama, sosok ke-8 orang yang dimaksud oleh warga setempat kini banyak dikenang sebagai hasta pala, atau pahlawan desa.
1. Untuk kehidupan
San Basri, Tadirana, Darwan, Sanwiraji, Sandirana, Ngalireja, Sumardi, dan Sanbesari, adalah delapan orang yang pada kisaran empat tahun setelah Indonesia merdeka, atau lebih tepatnya tahun 1949, memiliki hasrat dan gerakan besar untuk ‘membelah bukit’.
Keinginan yang jika didengar sekilas nampak tak masuk akal itu tentu muncul bukan tanpa alasan, semuanya semata-mata karena kehidupan yang serba sulit bagi para warga di Desa Kalisalak dan sekitarnya, terutama untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang menjadi hal pokok.
Hampir semua warga yang kala itu mengandalkan pekerjaan sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan hidup disebut masih miskin, dalam waktu satu tahun mereka hanya bisa melakukan masa panen satu kali karena sebatas mengandalkan air hujan untuk irigasi.
Desa tersebut ibarat terjebak karena lokasinya yang tidak dilalui oleh dua aliran air sungai. Pertama, sungai yang berada di dataran yang lebih rendah. Kedua, sungai yang berada di atas desa namun terhalang oleh sebuah bukit berjenis batu, yakni Sungai Logawa.
Sampai pada akhirnya, ke-delapan orang yang dimaksud berinisiatif melakukan berbagai cara untuk bisa mendapat aliran air dari sungai yang berada di atas desa, sekalipun harus membelah bukit untuk membuat terowongan tempat air mengalir.
2. Gunakan alat seadanya
Jangan membayangkan upaya membelah bukit di masa itu sudah menggunakan sejumlah peralatan canggih. Kenyataannya, untuk dapat membuat terowongan air sepanjang 550 meter, dengan tinggi 2 meter dan lebar 80 sentimeter, peralatan yang digunakan terdiri dari perkakas linggis dari pelepah nira, ruyung atau sada lanang, dan dandang.
Sementara itu untuk penerangan, mereka mengandalkan teplok, ting, sentir dan obor. Ya, mereka membutuhkan penerangan karena pengerjaan terowongan dengan memecah batu pada bukit itu dilakukan baik siang maupun malam.
Tidak langsung dimulai tanpa perencanaan, pembuatan terowongan tersebut dilakukan dengan terlebih dulu melalui tiga tahun perencanaan, dimulai dari tahun 1949-1952.
Mengutip Mongabay Indonesia, ke-delapan orang yang sebelumnya disebutkan memiliki perannya masing-masing, ada yang bertugas sebagai bendahara, penanggung jawab pekerjaan, hingga berperan bak ‘insinyur’ yang merancang aliran terowongan dan bagaimana proses pembuatannya dilakukan.
Setelah empat tahun digarap, terowongan tersebut akhirnya rampung di tahun 1956 dan berhasil mengaliri air ke sebanyak enam desa yakni Desa Kalisalak, Baseh, Kalikesur, Windujaya, Dawuhan, dan Keniten.
Air yang mengalir dari terowongan itu berhasil menghidupi sekitar 600 hektare sawah, dan membuat para petani dapat menanam padi dua kali dalam setahun.
3. Ancaman di masa kini
Lebih dari 50 tahun terlah berlalu, manfaat dari aliran terowongan tersebut tetap terasa oleh masyarakat sekitar, terutama untuk memenuhi kebutuhan air bersih melalui pamsimas dan perusahaan air minum (PAM).
Namun bukan berarti tidak ada perubahan, kenyataannya terowongan tersebut kini menghadapi ancaman sedimentasi dan sampah yang ibarat menjadi bom waktu, karena jika tidak secara rutin dibersihkan alirannya jelas akan tertutup.
Demi menjaga aliran air tetap berjalan, ada dua orang yang dipekerjakan untuk membersihkan terowongan tersebut setiap dua kali seminggu, yakni Kusnanto dan Agus Salimin.
Keduanya diketahui berjibaku setiap membersihkan terowongan tersebut dengan bertaruh nyawa, terlebih jika saat musim hujan dan terjadi banjir bandang. Sayangnya, mereka hanya dibayar Rp700 ribu dalam sebulan, itu pun dibagi dua.
Lain itu, dana untuk pembayaran mereka ternyata hanya diupayakan oleh warga Desa Kalisalak, padahal ada lima desa lainnya yang juga menikmati manfaat air dari aliran terowongan tersebut.
Kini, beberapa pihak disebut sedang dalam upaya menyatukan ke-enam desa, untuk menjaga keberadaan terowongan yang dibuat dengan penuh perjuangan tersebut agar tetap terjaga dengan baik.
Foto:
- Mongabay Indonesia
- Detik.com