Kisah Novilla Aru, penggerak komunitas perempuan adat di Papua

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Novilla Maria Aru (Dok. Lumeli Jacky Buli/Yayasan WWF Indonesia)

Ada banyak sosok local hero di Indonesia yang berperan memberdayakan masyarakat dengan berbagai cara. Tanpa terkecuali, eksistensinya tersebar di seluruh penjuru, termasuk wilayah Papua. Seperti yang dilakukan oleh seorang sosok penggerak bernama Novilla Aru.

Bernama lengkap Novilla Maria Aru, sosok perempuan yang lahir pada tahun 1989 ini merupakan penggerak perempuan adat di Kampung Sawesuma.

Salah satu gerakan besar yang dilakukan Novilla adalah mendukung perempuan wilayah sekitar dari tekanan yang ada. Tekanan yang dimaksud yaitu berupa bujukan investor untuk menjual tanah menjadi lokasi perkebunan.

Bagaimana upaya Novilla mempertahankan kelestarian alam dan tanah di Kampung Sawesuma? Berikut uraian ceritanya.

1. Awal kepedulian terhadap isu sosial

Novilla bersama dengan perempuan di Kampung Sawesuma (Dok. David Rahawarin/Yayasan WWF Indonesia)

Untuk diketahui, Novilla selama ini lebih akrab disapa dengan sebutan Amo, yang dalam bahasa Nabire berarti Ibu. Ia saat ini menetap di Kampung Sawesuma, sebuah kampung perbatasan Kabupaten Jayapura.

Sebenarnya ia berasal dari Nabire, namun kemudian menetap di Kampung yang dimaksud. Berstatus sebagai istri kamabi (pemilik ulayat suku Sawe) yang Bernama Bapak Robi Digan, Novilla mengawali kegiatan sosialnya dengan menjadi pengurus sekolah Minggu.

  Mengenal 4 suku adat yang berperan besar menjaga hutan Indonesia

Sekolah Minggu sendiri merupakan (persekutuan binaan gereja untuk komunitas anak remaja), di mana ia aktif menjadi pengajar dalam kesempatan tersebut. Dari situ, ia mulai banyak mengenal anak-anak, pemuda, dan kaum perempuan.

Karena memiliki karakter yang supel dan selalu mau belajar, ia berhasil menarik perhatian masyarakat kampung. Novilla pun akhirnya dipilih menjadi wakil BaMusKam (Badan Musyawarah Kampung). Tapi bukan hanya itu, minatnya dalam pemberdayaan kaum perempuan, pemuda dan anak-anak juga membuat ia dipilih sebagai ketua posyandu.

2. Mulai aktif memberdayakan perempuan

Perempuan di Kampung Sawesuma (Dok. Lumeli Jacky Buli/Yayasan WWF Indonesia)

Berangkat dari dua kondisi di atas, Novilla mulai banyak belajar tentang isu dan tantangan yang dihadapi kelompok perempuan. Akhirnya secara berkala, ia sering mengumpulkan kaum perempuan. Kegiatan awalnya pun cukup sederhana, yakni berbagai cerita persoalan rumah tangga, atau sekadar bertukar mimpi-mimpi dan harapan-harapan.

Akhirnya pada akhir tahun 2020, Kepala Kampung Sawesuma mengangkat Novilla menjadi ketua kelompok Ikatan Perempuan Adat Kampung Sawesuma. Di mana kelompok ini menamai diri dengan sebutan Ingger Wewal yang artinya Cenderawasih Betina.

  Upaya masyarakat adat menjaga alam dengan tradisi keramat

Total anggota terdiri dari 60 orang yang sebenarnya adalah seluruh perempuan di kampung tersebut. Novilla yang kemudian dipanggil sebagai Amo sangat bersemangat karena ada wadah bagi kaum perempuan untuk diakui di kampung.

Anggota kelompok tersebut sebagian besar berperan sebagai petani, mereka menghabiskan waktu banyak di kebun, mengurus anak dan rumah tangga. Tapi di balik itu, mereka adalah orang-orang tangguh. Untuk memastikan pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari, merekalah yang melakukannya.

3. Cerita menginspirasi Novilla Aru

Kelompok perempuan adat Ingger Wewal (Dok. Ade Erawati Sangadji/Yayasan WWF Indonesia)

Di lain sisi, tekanan terhadap hutan di Kampung Sawesuma menjadi isu yang semakin menguat sejak lama. Bujukan investor semakin kencang untuk menjual tanah untuk lokasi perkebunan, apalagi di tengah kondisi sulitnya ekonomi yang tak dimungkiri terjadi.

Meski begitu, Amo dan kelompok perempuan adat Ingger Wewal tidak tinggal diam. Melakukan gerakan pemberdayaan, mereka memulai usaha kerajinan noken atau hon.

Tidak disangka, kegiatan tersebut merupakan titik balik perkembangan kelompok. Kelompok kerajinan yang awalnya hanya diikuti 3 hingga 4 orang saja, sekarang sudah melibatkan seluruh anggota kelompok.

  Cerita Alfred Wallace tentang asisten pribadinya yang paling dikenang

Lebih lanjut, hasil produk yang dimiliki mereka pasarkan melalui komunitas Earth Hour (EH) Jayapura, atau oleh perorangan yang akan turun ke kota. Perlahan namun pasti, kelompok paham bahwa ada sektor lain yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomi selain penjualan hasil kebun.

Dan hal tersebut yang jadi modal mereka untuk mempertahankan lahan atau kebun yang disasar oleh investor. Gerakan tersebut yang kemudian menjadi inspirasi yang oleh Amo, pada acara webinar Pekan Asian Pacific Climate Week (APCW).

Amo berbagi keterlibatan perempuan yang berpartisipasi dalam menjaga iklim, dengan memanfaatkan sumber daya alam. Dalam kesempatan tersebut, cerita Amo tidak hanya didengar secara nasional, namun juga dalam cakupan internasional oleh masyarakat adat dari berbagai negara lain.

Adapun beberapa negara asal pegiat masyarakat adat lainnya terdiri dari Belanda, Accra-Ghana, Filipina, India, Kenya, Zimbabwe, Vietnam, Thailand, hingga Jepang.

“Walaupun gugup karena kegiatan ini melibatkan banyak orang luar (asing), tapi saya senang karena bisa sampaikan cerita tentang perempuan di kampung. Bahkan bisa belajar dari perempuan di negara lain” jelas Amo Novilla.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata