Miris dengan isu sampah, Janur Yasa pelopori gerakan tukar sampah dengan beras

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
I Made Janur Yasa (dokumen pribadi)

Tiap tahunnya, masyarakat Indonesia selalu memeringati Hari Peduli Sampah Nasional yang jatuh pada 21 Februari. Bicara soal sampah, memang tidak akan pernah terselesaikan kecuali dan sampai perilaku masyarakat tentang sampah berubah.

Namun tak sedikit pula sosok-sosok pejuang sampah dari berbagai pelosok negeri yang pantang menyerah untuk selalu melakukan sosialisasi peduli sampah. Salah satunya adalah seorang bernama I Made Janur Yasa, penggagas bisnis dan gerakan Plastic Exchange di Bali untuk mengubah perilaku orang atas sampah plastik di Pulau Dewata.

Penukaran Plastik dimulai Janur Yasa di desa kelahirannya, yakni di Banjar atau Komunitas Jangkahan, Desa Batuaji, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, Bali, pada bulan Mei 2020. Ini adalah realisasi dari ide tentang bagaimana mengatasi polusi sampah plastik di Bali sekaligus membantu masyarakat yang terkena dampak pandemi. 

Janur Yasa percaya, bahwa beras yang diperoleh dengan menukar sampah plastik akan lebih berarti bagi masyrakat, karena mereka telah mengeluarkan tenaga untuk mengumpulkan dan memisahkan sampah. Gerakan ini sendiri didasari pada kearifan lokal dalam hal nilai yang khas Bali: Tri Hita Karana, atau Tiga Harmoni Kemakmuran.

Untuk mencapai kemakmuran dan kebahagiaan di Bumi, manusia harus menjaga tiga harmoni: harmoni dengan Ilahi, harmoni dengan sesama, dan harmoni dengan lingkungan.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Plastic Exchange (@theplasticxchange)

Janur Yasa kemudian bermitra dengan perusahaan-perusahaan yang membutuhkan bahan plastik untuk diproses dan diolah kembali. Ia menjual sampah plastik yang ia dapatkan dari masyarakat kepada mereka, dan menggunakan uangnya untuk membeli beras sebagai pengganti plastik.

  Pada 2030, polusi sampah plastik diramalkan naik 2 kali lipat

Jumlah beras yang ia berikan pun tergantung pada jenis dan jumlah plastik yang ia dapatkan.

“Ini adalah ekonomi sirkular yang sesungguhnya: kami membeli beras dari petani lokal, yang memberi mereka uang; kami mendukung perusahaan, yang mempekerjakan orang dan menggerakkan ekonomi; dan akhirnya, orang-orang itu sendiri – termasuk petani dan karyawan – mengumpulkan sampah. Inilah cara kami membersihkan lingkungan dan memberi makan masyarakat di komunitas kami pada saat yang bersamaan,” bebernya, mengutip Independent Observer.

Tentu saja, Janur Yasa memulai seluruh usaha ini di desanya sendiri. Setelah berhasil, program ini secara bertahap meluas ke desa-desa lain di Bali.

“Saya berpikir, ‘Hei, jika ini berhasil di desa saya, pasti akan berhasil di tempat lain! Yang mengejutkan saya, program ini menjadi jauh lebih besar dari yang saya bayangkan sebelumnya,” tambahnya.

Program yang menyatukan sosial

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Plastic Exchange (@theplasticxchange)

Program ini secara sosial menyatukan komunitas lokal atau banjar, yang kemudian menular hingga mencapai 200 desa. Setiap orang saling membantu mengumpulkan sampah plastik dari rumah mereka, jalanan, sungai, pantai, di mana saja untuk ditukar dengan beras setiap bulannya.

  SalamAid siap menggelar program tahunan 'Qurban Traveler Nusantara' di 22 kota

Janur Yasa merasa bersyukur melihat betapa senangnya masyarakat menukarkan sampah plastik mereka dengan beras. Ia bangga bisa menyelesaikan masalah sampah plastik yang mencemari lingkungan dan membahayakan dalam banyak hal, meskipun hanya sebagian.

Secara umum, masyarakat Bali sangat dekat dengan alam. Mereka percaya bahwa alam adalah bagian dari jiwa mereka, dan mereka sangat peduli dengan lingkungan. Tapi mengapa polusi plastik tetap terjadi di Bali? Jawabannya: kurangnya pendidikan dan kebiasaan malas.

“Orang-orang di sini berkumpul dan bekerja sama dengan baik satu sama lain. Kami menunjukkan kepada orang-orang bagaimana membantu keluarga mereka dan satu sama lain dengan melakukan bagian mereka. Jadi, begitu mereka tahu mengapa sampah plastik harus dibuang dengan benar, segera setelah mereka diajari cara melakukannya, mereka sangat ingin membantu dan membuat perubahan di Bali,” pungkasnya.

Persoalan sampah di Indonesia

Sampah di pesisir pantai (Sergey Vasilyev/Flickr)

Indonesia menghadapi persoalan umum yang serius terkait pengelolaan sampah. Masalah sampah yang kompleks ini meliputi berbagai aspek, mulai dari produksi sampah yang besar, pengumpulan dan pengangkutan yang tidak teratur, hingga kurangnya fasilitas daur ulang yang memadai.

Produksi sampah di Indonesia terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa pada tahun 2019, Indonesia menghasilkan sekitar 67,8 juta ton sampah, atau sekitar 185 ribu ton per hari.

Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 60 persen sampah yang dikelola dengan baik, sedangkan sisanya dibuang sembarangan.

  Kebahagiaan anak-anak yatim-piatu penyintas gempa Pasaman

Kurangnya pengumpulan dan pengangkutan sampah yang teratur juga menjadi masalah serius di Indonesia. Banyak daerah di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, masih mengandalkan sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah secara manual oleh petugas atau warga setempat.

Hal ini menyebabkan tumpukan sampah di jalan dan sungai yang tidak hanya merusak pemandangan, tetapi juga membahayakan kesehatan masyarakat.

Kurangnya fasilitas daur ulang yang memadai juga menjadi masalah serius dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Meskipun terdapat beberapa fasilitas daur ulang di Indonesia, namun kapasitas dan teknologi yang digunakan masih terbatas.

Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya daur ulang dan kurangnya program pendidikan yang memadai juga menjadi hambatan dalam pengelolaan sampah.

Masalah sampah di Indonesia juga mempengaruhi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Sampah yang dibuang sembarangan dapat mencemari udara, tanah, dan air, serta menjadi sumber penyebaran penyakit.

Situasi ini tentu sangat merugikan masyarakat Indonesia, terutama mereka yang tinggal di sekitar tempat pembuangan sampah atau di daerah yang tercemar oleh sampah.

Untuk mengatasi masalah sampah di Indonesia, diperlukan tindakan terpadu dan berkelanjutan dari berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta.

Diperlukan perbaikan sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah, peningkatan fasilitas daur ulang, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah yang baik dan ramah lingkungan.

Dengan adanya tindakan yang serius, Indonesia dapat mengurangi masalah sampah dan mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.

Artikel Terkait

Berdaya