Opini: Kehidupan dalam dunia halusinasi

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
ilustrasi (ariry_assraf/Flickr)

Curhatan penulis kali ini mewakili akar rumput yang mencurahkan keprihatinan lantaran situasi yang semakin hari semakin tidak mengasyikan.

Usaha harian, hasilnya semakin tidak jelas saja. Kebutuhan hidup harus dipenuhi. Bayar listrik, bayar kontrakan, bayar tagihan bank keliling, sampai biaya sekolah swasta anak. mereka menolak dibayar dengan masker plus sertifikat vaksin. Semuanya harus dengan uang cash….hadeh.

Mau curhat kepada Gusti Allah secara berjamaah, dilarang. Sarana ibadahnya ditutup. Alasannya memutus matarantai penyebaran Covid-19. Virus kok ditakuti..! Bukankah virus itu sudah ada dari dulu dan sudah seliweran.

Di tahun 2000-an di negara lain sibuk dengan, ebola, sars, flu burung, flu hongkong, dan sebagainya, pemerintah saat itu santai aja, media pun tidak meneror dengan propagandanya, dan kami para akar rumput tidak terganggu, pedagang asongan normal jualan, anak-anak bisa sekolah dan tamasya, setiap ritual Hari Raya kami beribadah dengan khidmat.

Bicara hidup dan kematian adalah hak mutlak Gusti Allah, sakit dan sehatnya seseorang bagi kaum marjinal macam kami ini merupakan hidayah dari Allah–menurut asumsi saya, lho.

  Pandawara, kelompok anak muda kekinian yang peduli sampah sungai

Asumsi saya yang lainnya adalah, seolah kita dijauhkan dengan pencipta kita sendiri, tidak ada lagi puja-puji atas kekuasaan Allah secara berjamaah, sekarang dilakukan secata individu, ibarat sampah yang terserak.

Terkikis sudah kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, dimulai dari letupan kecewa, lelah, dan frustasi, diberbagai daerah yang semakin lama akan terus bergulir laksana bola salju yang bisa memporak porandakan tatanan di negeri +62.

Halusinasiku ini membuatku ketakutan, hingga aku memilih menceburkan diri kedalam gelas bekas kopi yang belum aku bayar.

Artikel Terkait

Berdaya