Opini: Lamunan es kelapa muda

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Kelapa muda (Dewa Pramayoga/Flickr)

Siang itu matahari bersinar begitu terik, seakan membakar kulit dekil penulis.

“Segelas es kelapa muda sepertinya bisa menyegarkan kerongkonganku yg kering ini” batin penulis, sembari memesan segelas es, di kedai penjual kelapa.

Sembari meneguk es segar tersebut, penulis mengeluarkan ponsel android di saku tas mungil yang menggelantung di pundaknya. Diaktifkan salah satu media sosial yang menjadi favoritnya. Hingga menunggu cuaca sedikit berdamai, penulis mulai asyik dengan gawai yang digenggamnya. 

Berselancar di media Youtube, banyak para kreator konten yang mengunggah tentang perbandingan kekayaan negara berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB). Dan kerennya, para kreator ini dengan mengulik data yang diperoleh menjadi sebuah konten keren dalam mendulang penonton/viewer

Aneka judul konten yang beragam tersebut, menggugah jemari penulis untuk meng-klik satu judul dari yang informatif hingga yang provokatif. Dalam tayangan konten yang isinya mengulas tentang sebuah kekayaan negara, mulai dari tingkat dunia, Asia Pasifik, dan Asia Tenggara.

Kalau bicara mengenai Indonesia, tentunya meringis saat menonton konten perbandingan dalam sebuah peringkat kekayaan negara ini. Indonesia memiliki nilai PDB yang mencapai 4.349 dolar AS, atau setara Rp62,2 juta pada 2021, demikian tulis laman BPS.  

  Mengenal tanaman unik tetapi mematikan dari timur Indonesia

Tetapi penulis kali ini bukan mengulas tentang perbandingan kaya atau miskin sebuah negara. Karena kekayaan sebuah negara itu berbeda satu negara dengan negara lain, lagi pula kekayaan sebuah negara merupakan anugerah dari Allah, bila tidak dirawat secara bijak, maka kekayaan yang ada bisa rusak dan punah.

Menelusuri google maps benua Asia dan ditelisik secara zoom-in, Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 99.083 km.

Garis Pantai yang panjang dan lautan yang luas, sepertinya belum dikelola secara bijaksana dan optimal. Ditambah lagi Indonesia merupakan salah satu negara yang dilintasi garis khatulistiwa, dan tentunya memiliki tanah yang subur.

Negeri ini juga hanya memiliki dua musim, yakni panas dan hujan, dengan penduduk mencapai 273 juta lebih yang tersebar di ribuan kepulauan.

Semua itu merupakan anugerah kekayaan dari Allah untuk negara ini, tentunya mengolah tanpa memusnahkan ekosistem sumber daya alam yang dikelola, harus dengan adil, bijaksana, dan semaksimal mungkin. Walhasil PDB kita bisa melejit lebih tinggi atau mungkin, bisa terkatrol jauh melampaui negara maju.

  Mengenal SalamAid, gerakan sosial berbasis lingkungan dan kebencanaan

Kebijakan pemerintah pusat-pun sudah menggelontorkan dana desa yang cukup besar nilainya. Walaupun belum merata, tujuan dana desa tersebut digunakan dalam mengelola desa bersama masyarakatnya.

Faktor utama minimnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, bukan karena dampak perang Rusia dengan Ukraina dan bukan pula akibat pandemi Covid-19, tapi karena kurangnya kesadaran dalam membangun untuk kepentingan  semua umat.

“Mari kita kilas balik ke masa, di mana Indonesia belum terbit”, Indonesia tercipta bukan karena Masyarakat Jawa, Sumatra, gugusan Kepulauan Riau, gugusan Kepulauan Seribu, bukan juga Masyarakat Kalimantan, Sulawesi, gugusan Kepulauan Nusa–Bali, dan Masyarakat Papua.

Indonesia diciptakan atas kesepakatan bersama, Indonesia adalah sebuah warisan dari kakek moyang pendiri bangsa di masa lalu. Generasi Milenial dan Gen-Z saat ini harus menjaga merawat serta berkarya untuk negeri ini, dalam mewujudkan keadilan sosial bagi Masyarakat Indonesia.

Merawat dan menjaga sebuah warisan pusaka ini memang tidak mudah, perlu kesadaran diri yang tinggi untuk mengelola sumber daya alam yang ada didaerah, tanpa memusnahkan ekosistemnya. Bergotong royong bersama Pemerintah Daerah dengan masyarakatnya dalam mengelola SDA semaksimal mungkin secara bijak, agar memperoleh hasil secara optimal.

  Padi hibrida, permata para petani Indonesia di masa depan

Bila kesadaran diri terbangun secara serentak, tentu tidak ada lagi orang bicara atas nama kelompok, tidak ada lagi pejabat yang rakus. Semua akan bekerja atas nama kita bersama, mewujudkan kesetaraan sebuah bangsa di mata dunia.

“Permisi pak, gelas sisa es kelapanya sudah dikerubungi semut, saya angkat untuk dibersihkan. Kalo mau pesan lagi, silahkan pak!” tegur sang penjual membuyarkan lamunan penulis.

Tak disadari sudah ratusan semut merah mengkudeta isi gelas sisa es kelapa muda yang belum habis. Penulis pun membayar Rp10 ribu untuk kemudian ngeloyor pergi.

Artikel Terkait

Berdaya