Opini: Menelusuri jejak kaki di bibir pantai

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Ilustrasi pinggir pantai (Aldian Silalahi/Flickr)
Dengan bergelimangnya ranah online,
dia mulai eksis dan setiap hari berselancar disana.
Memperluas jaringan. 
Berkenalan dengan seorang wanita mantan pejabat.
Wanita itulah merubah bartender menjadi seorang traveller.
– – –
Kisah atau curhatan ini dituturkan oleh seorang sahabat, Perkakas Ronggolawe, namanya. Lelaki berusia 45 tahun berstatus duda tanpa anak, berprofesi sebagai pengangguran baru karena usaha malam, tempat dia bekerja ditutup mulai 25 Maret 2020, ketika badai corona mulai meluluh lantakan hotel cafe, pub, diskotik, dan usaha sejenisnya.

Berbekal uang pesangon yang tidak seberapa ditambah pinjaman dari orang tuanya, dia mulai membuka usaha sangat kecil, di teras rumah orang tuanya di daerah Tambun Selatan.

Warung cocktail milik sendiri dengan bahan baku fermentasi buah-buahan. Sesuai pendidikan SMK perhotelan serta pengalaman di dunia bartender. Produk cocktail dikemas semenarik mungkin, lalu dititip jualkan kekios-kios, hotel, sebagian lagi dijual di warung miliknya dan secara online.

Sang waktu terus berlalu dengan angkuhnya. 9 bulan sudah Perkakas Ronggolawe menjalani usahanya. Penghasilan semakin hari semakin berkurang, banyak hotel dan usaha pub tempat dia menitip jual produknya tidak beroperasi karena berlakunya jam malam dari pemerintah daerah. Sekarang dia mengandalkan penjualan di warungnya sendiri dan jual online melalui akun facebook miliknya.

  Opini: Ketika orang kampung tak lagi 'kampungan'

“Kurangnya daya beli serta ketatnya peraturan pemerintah karena pandemi covid, saya tidak bisa berbuat banyak, Cak!. Sedangkan profesi yang saya geluti ini sudah lama. Usaha kecil ini untuk berkembang rasanya sulit, saat ini hanya bertahan dan mencoba mencari peluang baru,” kisahnya dengan nada getir.

“Kalau melalui facebook, ada yang beli tetapi tidak banyak, sebulan ada 3 pelanggan saya sudah bersyukur. Yang sulitnya, saya harus antar pesanan pelanggan itu sendiri, kalau dekat sich, gak masalah…! yang terjauh saya pernah antar ke daerah BSD Tangerang.” 

Menjual produk melalui facebook dengan sistem COD (Cash On Delivery) tidak selalu lancar dan mudah, banyak juga hambatannya. Seperti, alamat yang dituju fiktif atau kurang ajarnya adalah pelanggan yang membatalkan pesanan ketika barang sedang dalam pengiriman. Kejadian seperti itu membuat dia kecewa dan nyaris frustasi tidak mau menjual secara online lagi.

Tapi, karena semangat yang kuat, dioptimalkannya aplikasi online tersebut. Perkakas Ronggolawe meminimalisir kerugian, tidak lagi membuat penawaran COD dia meminta pelanggan untuk mentransfer uang terlebih dahulu. Barang pesanan baru dikirim menggunakan jasa pengiriman barang.

Melalui Facebook itu pula dia mulai intens dan aktif, hampir setiap hari dia berselancar di sana, memperluas jaringan. Hingga suatu ketika dia berkenalan dengan seorang wanita mantan pejabat disalah satu kementrian di era orde baru, yang merubah kesehariannya sebagai bartender menjadi seorang traveller.

Asih Widyaiswara. Begitulah panggilan lengkap wanita tersebut. Walaupun usia terpaut 14 tahun lebih tua dari Perkakas Ronggolawe. Meskipun sudah setahun pensiun namun wajah serta tubuh Widya terlihat segar awet cantik.
 
Sepertinya ia rajin merawat diri di salon dan olah raga ringan di kawasan Jakarta Selatan yang tidak jauh dari kediamannya. Namun Widya dan Perkakas saat itu, belum saling tatap muka (kopi darat) ataupun menjalin bisnis cocktail.

Meski mereka belum bertemu langsung, namun komunikasi antara Perkakas dan Widya lancar harmonis dan mesra. Layaknya kaum milenial saat ini yang lagi kasmaran, pacarannya secara virtual atau daring.

  Opini: Kehidupan dalam dunia halusinasi

Lelah menjalin hubungan secara virtual, Widya memutuskan untuk bertatap muka dengan Perkakas. Widya berinisiatif  untuk menghabiskan akhir tahun 2020 didaerah Labuan Bajo, tiket dan akomodasi selama di sana sudah disiapkan oleh Widya, juga untuk Perkakas.

Sementara perkakas hanya mempersiapkan antigen sebagai persyaratan penerbangan di bandara Soekarno-Hatta menuju bandara Komodo.

Di bandara Soetta Jakarta, 28 Desember 2020, pagi itu mereka janjian bertemu di pintu masuk bandara, sebelum boarding. Setelah saling menyapa, mereka pun langsung boarding pas.

Tidak banyak percakapan diantara mereka, namun keduanya sudah bergandengan tangan menaiki pesawat yang segera lepas landas menuju bandara Komodo, Labuan Bajo, NTT.

Akhir tahun pun dihabiskan bersenda gurau di hamparan pasir putih dan menikmati birunya laut Flores di Pulau Seraya kecil, yang berjarak 10 km sebelah utara Kota Labuan Bajo. Sebuah pulau mungil nan eksotis dengan cottage yang indah, menambah susasana akhir tahun 2020 yang romantis bagi pasangan yang sedang mabuk kepayang.

“Saat itu kami sangat menikmati suasana alam, cak..! Saya gak berencana bisa merasakan suasana dan tempat yang paling keren dalam petualangan hidup saya. Dari NTT, kami pergi ke Lombok dan akhir tahun 2021 kami keliling Bali. Saat itu cocktailnya tidak dipasarkan lagi, cukup saya nikmati sendiri. Alhamdulillah selama travelling kala itu, saya bisa mengirimkan uang walau tidak banyak, sekedar bayar cicilan hutang setiap bulannya. Ketika saya berada dititik nol,” beber Perkakas.

“Perjalanan wilayah Indonesia Timur sangat berkesan walaupun belum sampai Raja Ampat, Papua. Saya jadikan pembelajaran spiritual. Saya merasakan pembelajaran masih terus berlangsung melalui proses sileksi-Nya di sebuah perjalanan kehidupan. Hingga kaki-kaki ringkih ini tak sanggup lagi menopang tubuh” pungkas Perkakas menutup kisahnya.

  Miris dengan isu sampah, Janur Yasa pelopori gerakan tukar sampah dengan beras

Artikel Terkait

Berdaya