Mengutip berita di laman Kompas.com (28/2/2021), banyak seruan dan ajakan dari kelompok masyarakat yang disebarluaskan melalui grup media sosial soal unek-unek menolak kebijakan Presiden Joko Widodo yang membuka ijin investasi miras, baik bersekala besar dan kecil yang diberlakukan di daerah tertentu.
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam lampiran III Perpres mengenai bidang usaha dengan persyaratan tertentu. Termasuk Miras (Minuman Keras) menjadi legal, tetapi untuk daerah tertentu.
Asumsi penulis, dalam menyikapi fenomena di atas sangatlah lumrah dengan adanya pro dan kontra dalam sebuah kebijakan pemerintah. Namun legalnya Miras itu bersyarat dan hanya untuk daerah tertentu saja.
Di NKRI, memang memiliki keberagaman budaya dan sudah menjadi tradisi budaya, mengenai minuman tersebut. Seperti di Provinsi Bali, Sulawesi Selatan, NTT, dan Provinsi Indonesia Timur lainnya.
Miras merupakan sebuah tradisi adat dalam menyambut tamu kehormatan yang disambut khusus oleh tetua adat. Orang flores, Kabupaten Manggarai Provinsi NTT menyebutnya inung wae kolang dengan menyuguhkan minuman tuak/balo/cap tikus/sopi/arak, kepada tamunya, dan setiap daerah memiliki sebutan yang berbeda untuk Miras lokal ini.
Seentara untuk minuman tradisional tuak, banyak diproduksi oleh masyarakat setempat dari pohon enau yang banyak tumbuh didaerah tersebut.
Menyikapi hal itu, terbukanya peluang usaha mikro kecil dan menengah yang ada di daerah, tentunya bisa menggairahkan perekonomian masyarakat setempat. Dan mungkin Perpres Cipta kerja yang menjadi kebijakan Pemerintah RI dalam melegalisasi produksi miras khususnya untuk daerah tertentu.
Seandainya minuman lokal tidak diizinkan, hanya boleh menggunakan bir atau anggur cap orang tua, tentunya nilai budayanya tidak orisinal lagi dan hilang kearifan lokalnya.
Salah satu contoh tradisi budaya masyarakat Flores, saat ada acara adat menyambut tamu. Tentu sebuah prosesi adat budaya, inung wae kolang harga perjamuan lebih mahal dan yang mendapat keuntungan hanya industri besar saja. Tetunya tidak fair, dalam menjalankan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Di sini kita sebagai masyarakat harus dewasa dan bijaksana dalam menyikapi sebuah informasi. Jangan copas info tetangga, sekedar mengajak yang tidak jelas lalu dishare ulang, mungkin tujuannya ingin menjadi manusia up to date.
Sejatinya, miras lokal tidak mudah sampai ke kota-kota besar, seperti ke wilayah Jabodetabek misalnya. Karena minimnya produsen lokal serta belum mendapat binaan serta pengelolaannya belum optimal dari pemerintah daerah.