Judul di atas memang sedikit bisa memberikan tanda tanya besar atau pengaminan. Masa iya sekolah TK jadi ajang kapitalisme? Atau kalimat lainnya yang berpotensi didengar adalah, ”itu udah biasa, kali,”.
Nah, di kolom curhatan ini, penulis ingin sedikit menyampaikan cerita seorang kawan yang kebetulan berprofesi sebagai driver ‘Ojol’ yang belakangan ini cukup stress dengan kegiatan kapitalisme di tempat anaknya belajar. Kita sebut saja dia dengan panggilan ‘Fulan’.
Kebetulan anak Fulan masih TK, dan TK-nya pun gak keren-keren banget, cuma rumah yang digubah menjadi sekolah TK.
Cerita berawal dari keinginan Fulan untuk menyekolahkan anaknya ke TK, karena memang dari awal sang istri ingin anaknya menjalani proses belajar bersosialisasi di PAUD (pendidikan anak usia dini). Tapi karena memang kadar ekonomi keluarga Fulan yang pas-pasan, mereka skip anaknya ikut PAUD.
Akhirnya pada Juli 2022, ketika ada kesempatan pendaftaran TK, dan setelah berdiskusi dengan istri Fulan pun mendaftarkan anaknya ke TK, dengan konsekuensi harus merogoh kocek cukup dalam, yakni sekira Rp1,8 juta sebagai uang pendaftaran.
Melihat kadar ekonominya yang jauh dari kata cukup, maka penulis bilang angka segitu cukup besar bagi Fulan dan keluarganya.
Senang anaknya mendapatkan kelas di TK. Namun ironisnya, cerita soal ‘duit-duitan’ belum usai.
Fulan harus kembali membayar uang seragam tambahan–di luar seragam reguler yang include uang pendaftaran–yakni seragam profesi. Lain itu ia juga harus menebus paket LKS (lembar kerja siswa) untuk anaknya.
”Kok anak TK belajar LKS, bukannya TK itu tempat untuk bermain, dan bersosialisasi ya? Lagian anak saya kan belum bisa baca dan tulis. Kok semua uangnya buat yang belajar yang berat-berat,” sungutnya.
“Emang harus keluar duit berapa lagi, kang,” tanya penulis.
”450 ribu, kang,” jawabnya.
Dengan order penumpang untuk para driver ojol yang kian sepi, uang segitu banyak tentu sangat memberatkan. Jika ditotal, dalam sebulan Juli saja Fulan sudah mengeluarkan kocek Rp2,2 juta. Itupun anaknya belum efektif belajar. Belum lagi soal bayaran yang harus rutin disiapkannya, sebesar Rp150 ribu/bulan.
Dua bulan berjalan, kabar ‘uang kaget’ kembali datang di awal September. Kali ini bersumber dari program ‘manasik haji’ anak-anak TK yang mengharuskan siswa-siswinya mengikuti program tersebut.
Untuk satu anak, ditetapkan biaya yang harus disediakan adalah Rp350 ribu, dan untuk pendampingnya–ayah/ibunya–kena charge lagi, Rp150 ribu. Total uang yang harus dikeluarkan adalah Rp500 ribu.
Soal duit-duitan bulan itu saja, kawan penulis itu sudah harus mengeluarkan Rp650 ribu–berikut bayaran sekolah. Kasihan, berat nian hidupnya Fulan di tengah himpitan ekonominya.
Suka tak suka, iapun mengajukan pinjaman ke Bank Keliling demi menuntaskan hasrat anaknya ikut manasik haji. Lagian, gak mungkin juga anaknya ikut manasik haji tapa pendamping, kan?
Kepalanya kian ‘mau pecah’ ketika datang surat dari TK di awal Oktober untuk program cooking class yang diadakan di salah satu rumah cepat saji. Ceritanya, TK tempat anak Fulan bersekolah itu bekerja sama dengan rumah makan cepat saji untuk program cooking class.
Untuk ikut program cooking class, pembayaran harus digabungkan dengan uang bayaran bulan berjalan, yang artinya Rp150 ribu (uang bayaran sekolah bulan Oktober) + Rp250 ribu (uang program cooking class). Jika di total maka harus keluar uang Rp400 ribu.
Padahal, Fulan belum lupa urusan soal utang Bank keliling yang tempo hari ia pinjam dan bulan itu harus dilunasi, atau minimal setengahnya.
Bisa dibayangkan, betapa pusingnya si Fulan. Dan lagi, ia harus pontang-panting cari pinjaman uang untuk memenuhi kesemuanya itu. Fulan tak jemu berharap mukjizat dari Tuhan soal ‘rezeki kaget’ sehingga bisa melunasi semuanya.
Fulan sering bilang ke penulis, bahwa ia tak putus asa atas rahmat dan rezeki Tuhan. Makanya, selama ini ia menjalankan saja. Meski begitu, sikapnya pun sekarang berubah, jarang ngopi bareng, jarang ngobrol bareng, bahkan ketika lagi ngariung/kumpul warga/nobar, ia lebih cenderung diam dan jarang bergegas lebih cepat.
Puncaknya, ketika datang lagi surat di awal November yang mengabarkan bahwa pembayaran uang sekolah akan digabung pada periode November-Desember, serta uang untuk ikut serta ujian semester sebesar Rp350 ribu.
Penulis dan Anda pembaca curhatan ini tentu membayangkan, betapa brengseknya situasinya kala itu.
Di awal tahun 2023, ia sempat bercerita ingin menuntaskan anaknya bersekolah. Dengan kata lain, ingin memberhentikan anaknya dari TK. Karena apa yang selama ini dibayangkan tentang sekolah TK, pada kenyataannya jauh panggang dari pada api.
Saat ini, boleh jadi kita sama-sama meyakini jika pemerintah selalu ingin meringankan masyarakat soal beban biaya pendidikan. Makanya, dibuatkanlah program belajar 9 tahun gratis.
Tapi nyatanya program itu tak menyasar pada sekolah taman kanak-kanak, sehingga potensi ‘pengerukan’ uang dari orang tua murid berpotensi sangat besar.
Memang pendidikan itu mahal harganya, tapi penulis rasa untuk level sekolah TK dan uang-uang dan program-program yang tak penting tadi, jangan dijadikan ajang prioritas. Apalagi sampai mewajibkan para siswa/siswi TK mengikuti program tersebut.
Semoga Tuhan selalu melimpahkan rahmat bagi kita semua. Yang sulit dimudahkan, dan rumit diselaraskan, dan yang murung disenyumkan.
Salam sebat sambil ngopi….