Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, termasuk hutan yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Namun, di balik kekayaan tersebut terdapat kisah perjuangan yang dilakukan oleh banyak orang untuk mempertahankan keberadaan hutan dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.
Salah satu kisah perjuangan yang patut diapresiasi adalah perjuangan Raymundus Remang untuk mempertahankan hutan adat.
Raymundus Remang, Kepala Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kalimantan Barat bersama dengan warganya yang tinggal di hutan dekat tepian Sungai Utik, sudah lebih dari 130 tahun melestarikan hutan secara turun temurun melalui adat istiadat, mereka menjaga hutan tersebut dan tidak mengeksploitasinya secara berlebih.
Melansir Mongabay Indonesia, diketahui bahwa hutan yang dimaksud memiliki lahan seluas 9.452,5 hektare. Di mana dari total lahan tersebut, 6.000 hektare sebagiannya merupakan kawasan lindung, sedangkan sisanya adalah hutan kelola masyarakat adat.
Remang yang seorang aktivis lingkungan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup, terutama hutan adat yang merupakan warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan. Hutan adat adalah hutan yang dikelola oleh masyarakat adat berdasarkan tata kelola yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Sejatinya, hutan adat tidak hanya memiliki fungsi ekologis sebagai habitat flora dan fauna, tetapi juga memiliki nilai budaya, sosial, dan ekonomi yang penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat. Namun, keberadaan hutan adat seringkali terancam oleh berbagai faktor, seperti pembukaan lahan untuk perkebunan, pertambangan, atau pembangunan infrastruktur.
Hal ini juga terjadi di Desa Lubuk Mandarsah, dimana pemerintah setempat berencana untuk membuka kawasan hutan adat seluas ribuan hektar untuk dijadikan areal perkebunan kelapa sawit. Rencana ini sangat merugikan masyarakat adat yang hidup dari pengelolaan hutan, karena akan menghilangkan mata pencaharian mereka dan merusak lingkungan hidup.
Melihat ancaman ini, Raymundus Remang dan sejumlah aktivis lingkungan lainnya bergerak untuk mempertahankan keberadaan hutan adat. Mereka membentuk komunitas lokal yang dikenal dengan nama Perkumpulan Peduli Hutan Adat Lubuk Mandarsah (PPHA).
Komunitas ini berupaya menggalang dukungan dari masyarakat adat dan pihak-pihak terkait untuk melawan rencana pemerintah tersebut.
Perjuangan yang tak mudah
Perjuangan mereka memang tidaklah mudah, karena mereka harus menghadapi berbagai rintangan dan hambatan. Mereka harus mengumpulkan bukti-bukti tentang hak ulayat masyarakat adat atas kawasan hutan adat, melakukan kampanye untuk mengedukasi masyarakat dan pihak-pihak terkait tentang pentingnya menjaga hutan adat, serta mengajukan petisi dan surat keberatan kepada pemerintah.
Tak jarang mereka juga harus berhadapan dengan pihak-pihak yang sering mengintimidasi dan mengancam dari mereka yang tidak setuju dengan perjuangan mereka.
Namun, Raymundus Remang dan PPHA tidak menyerah. Mereka terus berjuang dengan semangat dan keberanian yang tinggi untuk mempertahankan hutan adat dan hak ulayat masyarakat adat. Mereka juga berupaya untuk mencari dukungan dari masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya untuk bersama-sama memperjuangkan keberadaan hutan adat.
Perjuangan Remang dan PPHA akhirnya membuahkan hasil. Setelah berbagai upaya yang dilakukan, pemerintah akhirnya mengakui hak ulayat masyarakat adat atas kawasan hutan adat tersebut.
Selain itu, PPHA juga berhasil membangun kemitraan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di sekitar kawasan hutan adat, dengan tujuan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat.
Kisah perjuangan Raymundus Remang dan PPHA memberikan pelajaran yang berharga tentang pentingnya mempertahankan keberadaan hutan adat dan menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat adat.
Hutan adat bukan hanya sekadar kawasan hutan yang memiliki nilai ekologis, tetapi juga memiliki nilai budaya, sosial, dan ekonomi yang penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk mempertahankan hutan adat dan mendukung masyarakat adat dalam mengelola kawasan hutan tersebut.
Mempertahankan nilai kearifan lokal
Tidak hanya itu, kisah perjuangan Raymundus Remang dan PPHA juga mengajarkan kita tentang pentingnya berjuang dengan semangat dan keberanian untuk mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal. Keberadaan hutan adat dan hak ulayat masyarakat adat adalah warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan untuk keberlangsungan hidup generasi selanjutnya.
Kita semua memiliki tanggung jawab untuk ikut serta dalam mempertahankan keberadaan hutan adat dan mendukung masyarakat adat dalam mengelola kawasan hutan tersebut.
Dalam menghadapi ancaman terhadap hutan adat, kita juga perlu mengedukasi masyarakat dan pihak-pihak terkait tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup dan mempertahankan keberadaan hutan adat.
Selain itu, kita juga perlu bekerja sama dengan masyarakat adat dalam mengelola kawasan hutan adat dengan cara yang berkelanjutan dan memperhatikan kesejahteraan masyarakat adat.
Dalam konteks globalisasi dan modernisasi yang serba cepat, keberadaan hutan adat dan hak ulayat masyarakat adat seringkali terabaikan. Oleh karena itu, perlu adanya perjuangan dan upaya yang sungguh-sungguh untuk mempertahankan keberadaan hutan adat dan hak ulayat masyarakat adat.
Kisah perjuangan Raymundus Remang dan PPHA menjadi inspirasi bagi kita semua untuk berjuang dan mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Indonesia.
Pengakuan dan apresiasi

Berkat perjuangan tersebut, akhirnya ia mewakili Suku Dayak Iban yang bermukim di Sungai Utik diganjar Penghargaan Kalpataru pada tahun 2019, yang diberikan secara langsung oleh Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden yang menjabat kala itu.
“Sudah 130 tahun suku kami mendiami hutan. Leluhur kami berpesan untuk menjalin persaudaraan dan memelihara hutan untuk generasi penerus. Tanah ibarat sosok ibu yang memberi susu,” ucap Remang, dalam Media Indonesia.
Hingga saat ini, Remang dan warganya diketahui tetap dan akan terus mempertahankan keberadaan hutan adat, serta memanfaatkannya untuk kelangsungan hidup mereka dengan cara berladang sesuai dengan tradisi adat dan berburu.
“Segalanya tersedia kebutuhan makan sehari-hari di hutan seperti supermarket tanpa bayar,” tuturnya.
Melalui prinsip tersebut, Remang dan masyarakat Dayak Iban sejatinya tidak hanya memanfaatkan hutan untuk kehidupan mereka. Melainkan dengan upaya pelestarian yang dilakukan, mereka tak dimungkiri sekaligus menjaga kestabilan lingkungan dengan memelihara hutan tropis di tanah Borneo.
Dengan tetap berpegang teguh pada filosofi yang mereka anut, “Tanah to indae kitae, kampuang to apay kitae” yang bermakna, “Tanah ini ibu kami, hutan ini ayah kami.”