Terletak di Kampung Tajur, Desa Pasirmuncang, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sejatinya kehadiran Padepokan Lingkung Seni yang dibangun oleh Abah Sabarna Ahmad Sa’bani, mencoba menyatukan kembali atau mengajak masyarakat sekitar untuk kembali ke alam dengan melakukan berbagai kegiatan berbasis budaya yang diturunkan nenek moyang.
Secara gamblang, Ki Tapak Sewu–sapaan Abah Sabarna, pada tim Bahadur mengatakan bahwa tujuan paling mendasar adalah memupuk kembali respons masyarakat untuk kembali berinteraksi dengan alam dengan melakukan berbagai kegiatan ramah lingkungan.
Salah satunya adalah mengangkat kembali pamor serta filosofi Silat Cimande yang belakangan meredup dan kurang diminati oleh golongan muda/remaja.
Lantas, seperti apa saja upaya-upaya yang dilakukan Abah Sabarna dan para peliterasi budaya di Desa Pasirmuncang untuk mengangkat kembali harmonisasi mereka dengan alam dan budaya? Berikut paparannya.
Perkumpulan berbasis harmoni budaya dan alam

Meski sebenarnya Padepokan Lingkung Seni sudah diinisiasi selama kurang lebih 7 tahun, namun baru pada 3 tahun terakhir mereka mencoba membuat perkumpulan tersebut lebih terorganisir dengan baik. Salah satunya dengan mendirikan bangunan saung padepokan yang semunya berbahan dasar bambu yang banyak tersebar di wilayah tersebut.
Saung berukuran 10×10 meter berlatar Gunung Gede-Pangrango itu menjadi tempat diskusi sekaligus pembelajaran bagi para anak-anak, remaja, dan masyarakat umum untuk mengenal lebih banyak bagaimana membangun hubungan baik dengan alam dan lingkungan melalui pemahaman budaya.
Anak-anak dan remaja sebagai pembelajaran dasar diajari bagaimana mengelola emosi pemahaman terkait harmonisasi dengan alam, salah satunya melalui pelatihan dasar silat cimande yang merupakan warisan budaya leluhur.
”Silat bukan untuk menjadi jagoan atau jawara, atau membuat diri kita bisa bela diri. Justru kebalikannya, dengan memahami pencak silat cimande, kita akan diajari bagaimana melakukan hubungan bathiniah dengan alam, rendah hati, menjaga hubungan baik dengan sang pencipta, serta tentu saja perduli dengan keadaan lingkungan dan masyarakat. Artinya, pelajaran ini menjadi modal dasar mengenal budaya leluhur sekaligus berkomunikasi dengan alam secara bathin,” beber Abah.
”…Jadi semisal ada jawara yang mengaku jago silat dan ‘sok jagoan’ sebenarnya dia tidak memahami apa itu makna silat yang sebenarnya.”
Abah meyakini, dengan memberikan modal dasar tersebut anak-anak selain memahami lingkungan berbasis budaya, juga terasah empatinya kepada sesama manusia dan mahluk lain ciptaan Tuhan.
”Ketika mereka sudah memahami betul apa itu makna dasarnya, Insya Allah mereka tidak akan jadi orang yang sombong,” tandasnya.
Pesan leluhur

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Abah Sabarna adalah merupakan pesan leluhur yang didapatkannya sejak muda, bahwa ia harus meneruskan kultur dan budaya adat yang harmonis dengan alam.
Pesan itu terus terngiang di telinganya hingga pada akhirnya, sosok yanga awalnya berprofesi sebagai guru silat dan pengobat tradisional di kalangan pejabat negara itu merasa harus kembali ke kampung halaman dan mendirikan padepokan.
”Jika ingin mengejar materi yang berlimpahan, Abah dulu nggak mau balik lagi ke kampung ini, terus aja menjalani profesi sebagai guru silat dan pengobat tradisional. Karena pasien Abah kan juga penggede (pejabat). Tapi karena ini panggilan bathin yang terus bubunyian (bunyi) di telinga, akhirnya dengan tekad bulat Abah pulang dan mendirikan padepokan,” kisahnya.
Dengan menjalani hidup sederhana dan mulai mengumpulkan beberapa orang kampung, Abah mencoba memberikan pemahaman bagaimana harus kembali lagi kepada pesan leluhur untuk menjaga alam sekaligus menjaga budaya adat.
Tak dimungkiri abah memang, bahwa untuk kembali melakukan hal tersebut banyak sekali godaan yang didapatkannya, mulai dari permodalan besar yang diberikan oleh pejabat daerah untuk membuka usaha lain, maklum saja, wilayah Pasirmuncang saat ini berada dalam wilayah strategis pembangunan desa.
”Bantuan yang memang diberikan dengan cara memberi sogokan atau menitip pesan-pesan tertentu, pasti Abah tolak. Abah nggak mau mendirikan padepokan dari hasil uang yang gak jelas (hasil korupsi),” tegasnya.
Sebagai salah satu sesepuh kampung dan sosok yang dihormati di kawasan tersebut, boleh jadi berbagai pertimbangan pun dilakukan Abah. Salah satunya dengan melakukan kaderisasi serta membentuk tim komunikasi dengan orang-orang luar yang memiliki kepentingan khusus.
Filosofi ‘duren’, sambung Abah, bukan merupakan filosofi biasa. Duren yang bermakna duduk rendah adalah manifestasi dari manusia untuk terus merendah dengan sang pencipta, serta berkomunikasi yang baik dengan alam, seperti melakukan tirakatan (doa), memurnikan pikiran (semedi), serta melakukan pengasuhan dan welas asih (pengajaran).
Harmoni dengan alam dan budaya adalah obat

Dengan melakukan harmonisasi dengan alam dan kembali kepada pesan-pesan budaya leluhur, Abah menyakini bahwa itulah obat yang sebenarnya yang dibutuhkan manusia. Karena pada hakekatnya, alam akan menjaga manusia dan budaya leluhur akan menuntun kepada hal-hal baik.
Misalnya, seseorang merasa terpuruk atau depresi, bisa jadi–menurut Abah–karena ia melanggar ketentuan-ketentuan sosial, ketentuan agama, dan tentu saja tidak dekat dengan alam.
Karenanya, orang-orang yang memahami hal tersebut, diajarkan bagaimana dekat dengan alam serta diajak kembali mengingat pesan-pesan leluhur yang tentunya semuanya bertujuan untuk kebaikan.
Salah satu rintangan yang saat ini dihadapi Abah adalah bagaimana mengelola SDM kampung yang menurutnya sangat potensial. Karenanya ia sangat terbuka kepada pihak-pihak yang ingin membantu secara ikhlas dan berkelanjutan yang tentunya kesemuanya itu untuk kemaslahatan masyarakat dan padepokan.