Sejumlah spesies fauna atau hewan ternyata sudah diabadikan bentuknya pada relief-relief yang terpahat di Candi Borobudur. Candi yang berada di kawasan Magelang, Jawa Tengah, itu memang menyimpan banyak cerita, salah satunya tentang fauna.
“Kajian tentang makna kehadiran spesies fauna menjadi penting dan menarik untuk melengkapi cerita panil serta menambah nilai Candi Borobudur sebagai wisata sejarah dan edukasi,” tulis akun instagram Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang disadur dari Liputan6.
Lalu mengapa leluhur mengukir pahatan fauna pada dinding-dinding Candi Borobudur? Seberapa pentingkah fauna bagi masyarakat Jawa kuno? Berikut uraiannya:
1. Menceritakan perjalanan Buddha
Melalui kajian Pusat Penelitian Biologi, LIPI menyebutkan fauna-fauna di relief Lalitavistara mengisahkan tentang perjalanan hidup Buddha Gautama sedangkan Relief Karmawibhangga menceritakan tentang hukum sebab dan akibat pada candi Borobudur.
“Terkait metode identifikasi jenis fauna bedasarkan karakter mofologi, tingkah laku, habitat, dan physiological features,” ucap Cahyo Rahmadi, Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Menurut Cahyo, pemahat kala itu datang dari beragam profesi, seperti taksonomo, ekolog, etolog, dan ilustrator sains. Para peneliti juga perlu ke hutan untuk mengamati perilaku fauna, sedangkan pemahat relief Borobudur telah menggambarkan dengan benar bedasarkan kehidupan satwa waktu itu.
2. Terdapat 315 induvidu satwa
Cahyo juga mengungkapkan dari 120 panil cerita relief Lalitavistara terdapat 61 panil yang memiliki relief fauna di dalamnya. Tim peneliti LIPI bersama pengkaji Balai Konservasi Borobudur (BKB) menemukan total ada 315 induvidu fauna.
Dari hasil kajian, panil yang memiliki pahatan fauna dengan jumlah spesies terbanyak menceritakan tentang Bodhisattva (calon Buddha) yang akan menyeberangi Sungai Gangga yang sedang meluap, di mana terpahat 9 jenis fauna di dalamnya.
Sementara itu, fauna yang paling banyak tersebar di panil adalah merak hijau (Pavo muticus) yang tersebar di 15 panil. Selanjutnya didapatkan 52 spesies satwa yang teridentifikasi. Sebanyak 47 diantaranya teridentifikasi sampai tingkat spesies dan lima fauna sampai tingkat famili.
Itu terbagi menjadi kelas yakni actinopterygii (ikan), aves (burung), gastropoda (siput), mamalia dan reptil. Identifikasi lebih lanjut menunjukan terdapat empat spesies actinopterygii dari empat famili, 21 spesies aves dan 15 famili, satu spesies gastoproda, 23 spesies mamalia dari 18 famili, dan 3 spesies reptil dari tiga famili.
Dari 52 spesies yang teridentifikasi hanya satu fauna yang tidak ada keberadaannya di Nusantara kuno, yakni singa. Namun menurut Kitab Lalitavistara, singa dapat ditemukan di India sehingga menjadi fauna yang ikut dipahat di Candi Borobudur.
3. Penggambaran kondisi masyarakat Jawa
Hal yang menarik pada relief Lalitavistara adalah penggambaran kisah ini yang notabene berasal dari India tetapi dalam wujud kondisi masyarakat Jawa pada waktu itu. Itu berarti, walau berisi ajaran Buddha, relief-relief yang tergambar merupakan wujud dari kehidupan masyarakat Jawa.
“Semua penggambaran baik itu manusia, kondisi lingkungan sekitar, seperti pepohonan, alat transportasi, dan fauna-nya, itu dipahatkan sesuai dengan kondisi lingkungan Jawa kuno, pada saat itu. Yakni sekitar abad 8-10 Masehi,” kata Hari Setyawan, Ahli Arkeologi Balai Konservasi Borobudur yang dimuat di Merdeka.
Misalnya dalam sebuah relief, digambarkan ada berbagai jenis hewan yang hidup pada sebuah hutan. Hewan-hewan ini hidup berdampingan dengan warga setempat yang juga digambarkan di sana. Sementara itu dalam relief juga digambarkan rimbunan pepohonan yang menjadi latar tempat itu.
Sementara itu Sang Buddha sendiri berdiri di tengah-tengah gambar para penduduk, hewan-hewan, dan rimbunan pepohoan. Menurut Hary, relief ini menunjukan bahwa adanya Shiddarta Gautama di tempat itu untuk memberi kebahagian pada semua makhluk.
Candi Borobudur, bagi Hary adalah sebuah perpustakaan yang menyimpan ilmu pengetahuan terpendam pada relief-reliefnya. Dengan mempelajari relief pada candi ini, sama saja dengan mempelajari banyak hal tentang kehidupan pada zamannya.
“Jadi dengan mempelajari relief kita akan paham mengenai kondisi lingkungan sosial budaya pada saat itu. Ini baru kami lakukan dengan disiplin ilmu yang bervariasi dan banyak interpretasi yang kita dapatkan untuk memperkaya khazanah ilmu buaya kita,” pungkasnya.
Foto:
- Wikipedia