Kerugian sampah makanan di Indonesia mencapai ratusan triliun per tahun, ironi di tengah krisis pangan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Sampah makanan (FAOAmerica/Flickr)

Indonesia berdasarkan data The Economist Intelligence Unit merupakan penghasil sampah makanan (food loss and waste/FLW) kedua terbesar di dunia, yang diapit oleh Arab Saudi di peringkat pertama dan Amerika Serikat pada peringkat ketiga.

Pemerintah menganjurkan beberapa hal untuk mengurangi sampah makanan di Indonesia. Pengolahan sampah makanan ini merupakan salah satu langkah untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dan global apalagi dengan kondisi krisis kali ini.

Lalu mengapa Indonesia menjadi penghasil sampah makanan terbesar? Dan apa dampaknya? Berikut uraiannya:

1. Sampah makanan yang buat rugi

Sampah makanan (Maicih Pusat/Flickr)

Indonesia berdasarkan data The Economist Intelligence Unit merupakan penghasil sampah makanan (food loss and waste/FLW) kedua terbesar di dunia, yang diapit oleh Arab Saudi di peringkat pertama dan Amerika Serikat pada peringkat ketiga.

Kementerian PPN/Bappenas RI melakukan kajian terhadap riwayat FLW yang terjadi di Indonesia, bahkan sampai 20 tahun ke belakang.  Kerugian ekonomi akibat mubazir pangan adalah sebesar 4-5 persen produk Domestik Bruto (PDB) Nasional atau setara dengan Rp213-551 trilun per tahun.

  Kuota Pertalite dan Solar menipis, kiamat kecil bagi masyarakat

“Secara ekonomi ini merugikan sekali. Bayangkan, banyak sekali makanan yang dibuang hingga mencapaii 4-5 persen PDB kita, kalau dihitung secara keseluruhan,” ucap Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, Medrilzam yang dimuat Kumparan.

Medrilzam menyebut pihaknya melakukan persentase sampah makanan Indonesia, yang paling mendominasi adalah 44 persen dari seluruh jenis limbah, yakni 23-48 juta ton per tahun. Spesifiknya, setiap orang membuat sampah makanan sebanyak 115-185 kg per tahun.

“2000 sampai 2019 trennya naik, dari 115 kg per orang per tahun, jadi 184 kg per orang per tahun. Bayangkan saja, jika digabung. Kita bisa kasih makan 125 juta porsi tiap tahun. Tentu ini bisa mengentaskan kemiskinan,” lanjutnya.

2. Imbauan pemerintah

Makanan (Loi Pasion Nuestro Olivar/Flickr)

Menteri Koordiantor Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto mengatakan harus ada upaya untuk mengurangi sampah makanan ini, baik di Indonesia maupun secara global. Misalnya dengan memperkecil ukuran piring yang digunakan sehari-hari.

“Inisiatif kecil seperti mengubah ukuran piring. Mengubah dari menu prasmanan ke ala carte. Saya pikir hal bijaksana ini akan menyebabkan dampak yang signifikan,” ujarnya yang diwartakan Kompas.

Dirinya mengatakan pengolahan sampah makanan ini merupakan salah satu langkah untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dan global. Karena itu diperlukukan pengembangan diversifikasi pangan lokal.

  Mengungkap makanan manusia zaman purba dari jejak fauna di Situs Purba Maros

Hal ini katanya termasuk strategi kebijakan terkait optimalisasi potensi pemanfaatan lahan untuk menanam pangan lokal, serta pengembangan industri pengolahan pangan lokal. Beberapa daerah disebutnya masih ada yang menanam sagu, sorgum, serta singkong.

“Indonesia makanan yang ditanam secara lokal seperti sagu, sorgum, serta singkong, dan buah lokal,” jelasnya.

3. Ancaman krisis pangan

Sampah makanan (FAOAmerica/Flickr)

Guru Besar UGM dari Fakultas Geografi, Prof. Dr M. Baiquni ,M.A mengajak masyarakat untuk peduli dengan ancaman krisis pangan di masa depan. Dirinya mengatakan bahwa pemenuhan kebutuhan pangan memiliki tantangan besar.

Baiquni menjelaskan tantangan pertama adalah pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Menurutnya dalam 250 tahun terakhir. Jumlah penduduk dunia telah tumbuh dengan pesat lebih dari kurang 1 miliar menjadi lebih kurang 7,99 miliar.

Selain itu, muncul juga tantangan berupa perubahan iklim yang disebabkan oleh industrialisasi. Dalam upaya memproduksi pangan, perubahan iklim ini dapat menurunkan kemampuan alam untuk memproduksi pangan.

Namun dirinya juga mengajak masyarakat agar tetap optimis dalam menghadapi masa depan. Baiquni mengatakan bahwa akan selalu ada harapan dengan inovasi teknologi dan perencanan pembangunan yang berstrategi.

  Potensi bambu di Desa Rumpin berbasis kearifan lokal

“Namun demikian, (tetap) terlihat selalu ada optimisme dengan (inovasi) teknologi dan (inovasi) sistem-sistem yang dibangun dengan manajemen dan strategic thinking dalam teori pembangunan,” pungkas Baiquni yang dipaparkan Sariagri.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata