Legitnya nilam Aceh yang pernah jadi komoditas penting di pasar internasional

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
tanaman nilam (samunpri dotcom/Flickr)

Sejak zaman kolonial Belanda, Aceh dikenal sebagai daerah penghasil utama nilam (Pogostemon cablin Benth) di Nusantara. Tidak hanya dari sisi produktivitas, kualitas nilam Aceh pun diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia.

Namun, kedigdayaan Nilam Aceh kini jauh surut. Harga begitu cepat berfluktuasi dan mudah jatuh. Industri nilam mulai didominasi Jawa. Minyak nilam Aceh banyak yang diolah di Jawa baru dijual ke luar negeri.

Lalu bagaimana jejak kejayaan nilam Aceh? Dan mengapa kini komoditas ini kemudian anjlok? Berikut uraiannya:

1. Nilam yang berjaya

Panen nilam (MicroAid Projects/Flickr)

Sejak zaman kolonial Belanda, Aceh dikenal sebagai daerah penghasil utama nilam (Pogostemon cablin Benth) di Nusantara. Tidak hanya dari sisi produktivitas, kualitas nilam Aceh pun diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia.

Disebutkan oleh M Burhanudin dalam Jejak Peradaban: Nilam, Primadona Aceh yang Tertidur, hingga kini masyarakat Aceh tidak tahu persis kapan tanaman nilam mulai menjadi komoditas perdagangan yang bisa bernilai jual tinggi di pasar internasional.

Tetapi para petani nilam di Aceh telah paham bahwa tanaman ini sudah berkembang sejak sebelum Indonesia merdeka. Dipercaya kakek-nenek mereka yang pertama kali menjual daun dan minyak nilam kepada perusahaan-perusahaan kolonial Belanda.

  Kerugian sampah makanan di Indonesia mencapai ratusan triliun per tahun, ironi di tengah krisis pangan

“Waktu itu zaman Belanda. Rata-rata petani nilam di sini pun juga begitu, meneruskan usaha turun temurun,” kata Hamdani petani nilam di Pasie Raja, Aceh Selatan.

Dimuat dalam jurnal berjudul Sejarah dan Perkembangan Budidaya Nilam di Indonesia yang ditulis Azmi Dhalimi, Anggraeni, dan Hobir menuturkan bahwa tanaman nilai dikirim ke Aceh melalui Singapura pada 1895.

Pembudidayaan nilam Singapura di Aceh tersebut terkait pengalihan fokus budidaya perkebunan dari British Malaya ke karet. Hal ini dimanfaatkan Belanda untuk mengintensifkan budidaya nilam di Sumatra dan Aceh.

“Ternyata tanah di Aceh cocok untuk pengembangan nilam. Bahkan, nilam Aceh lebih bagus daripada nilam Singapura,” paparnya.

2. Nilam bawa kesejahteraan

Tanaman nilam (Tri Nguyen/Flickr)

Akan tetapi, budidaya nilam di Aceh mulai menghadapi masalah ketika harga karet melorot pada 1919. Kemudian pengusaha perkebunan di British Malaya memperbarui energi mereka dengan budidaya nilam.

Sesudah itu, ekspor nilam Aceh menurun dan menyebabkan pengusaha perkebunan mengalami kelebihan suplai daun nilam kering. Diputuskanlah untuk menyuling daun nilam di Sumatra.

  Menelusuri jejak tempat tinggal Wallace ketika berada di Maros

Sejak saat itu, penyulingan minyak nilam di Aceh dimulai. Para petani membuat penyulingan-penyulingan tradisional di desanya masing-masing. Muncul Aetherische Olien Fabric di Tapaktuan, Aceh Selatan, pabrik minyak atsiri yang cukup besar.

Pemerintah kolonial Belanda juga mendirikan pabrik-pabrik penyulingan di beberapa titik di pesisir barat Aceh seperti lainnya di Teunom, Aceh Jaya pada tahun 1933. Hal ini membuat produksi minyak nilam Aceh pun kian luas.

“Pada pertengahan abad ke 20, Sumatra menjadi pemasok minyak nilam terbesar di dunia dengan Aceh sebagai pusat pembudidayaannya,” tutur Hendrayana, Ketua Koperasi Industri Nilam Aceh, Aceh Jaya.

Pada zaman awal kemerdekaan, nilam Aceh masih dapat menjadi sandaran kesejahteraan bagi petani di Aceh bagian barat dan selatan. Bahkan, pada tahun 1960-an, komoditas ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

Dirinya menuturkan, sekitar 1960-an, minyak nilam memberikan rezeki yang berlimpah bagi keluarganya dan para petani lain di Pasie Raja. Kala itu, 1 kilogram minyak nilam setara dengan 1 ton beras.

“Akhirnya, makin banyak petani yang beralih menanam nilam,” tutur Hamdani yang ketika itu masih kecil

  Fenomena belalang gurun, serangan hama yang paling berbahaya di dunia

3. Berusaha dibangkitkan

tanaman nilam (samunpri dotcom/Flickr)

Tetapi perlahan nilam Aceh surut. Harga begitu cepat berfluktuasi dan mudah jatuh. Industri nilam mulai didominasi Jawa. Minyak nilam Aceh banyak diolah di Jawa kemudian baru dijual ke luar negeri.

Tahun 1997, menjelang krisis monoter, minyak nilam Aceh kembali bergairah. Hal ini seiring melonjaknya harga ekspor nilam yang mencapai Rp1,5 juta per kilogram. Tetapi rupanya kondisi tersebut tak berlangsung lama.

Pada pertengahan tahun 1998, harga nilam kembali jatuh. Banyak petani yang merugi. Seiring dengan itu, situasi politik di Aceh memburuk. Pada tahun 2000, konflik terjadi. Banyak petani yang tak berani pergi ke ladang atau sawah.

“Situasi sempat membaik tahun 2007. Saat itu harganya sampai Rp1 juta per kilogram, tetapi setelah itu jatuh lagi dan sangat tidak pasti,” kata Hendrayana.

Kepala Badan Penelitian Teknologi Pertanian Aceh T Iskandar menuturkan anjloknya harga jual tersebut bukan berarti permintaan pasar internasional terhadap nilam Aceh menurun. Karena permintaan minyak nilam Aceh tetap tinggi.

“Hal ini tak lepas dari kualitas minyak nilam Aceh yang masih dianggap terbaik di dunia,” ucapnya.

Artikel Terkait