Porang merupakan tanaman penghasil umbi yang memiliki nama latin Amorphophallus muelleri. Tanaman ini masih sekerabat bahkan penampilannya mirip dengan suweg, maupun walur.
Penggunaan porang di dalam negeri masih terbilang sedikit, walau sudah mulai banyak yang membudidaya. Sebaliknya, dia jadi pangan favorit di Jepang saat diolah menjadi mie shirataki atau konyaku.
Sejumlah pelaku industri makanan selama ini memang telah rutin menggunakan porang sebagai bahan baku misalnya untuk pembuatan jeli.
“Namun, masih sangat sedikit yang sudah memanfaatkannya. Padahal kalau ekspor dalam bentuk olahan rafinasi maka nilainya akan lebih tinggi lagi dibanding sekarang yang masih olahan sederhana. Jadi ini potensi yang bisa dikembangkan industri,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S. Lukman.
Dipaparkan oleh Mongabay Indonesia, praktisi pangan lokal juga pendiri Pesantren Ekologi Ath-Tahaariq Garut, Nissa Wargadipura, menyatakan tanaman ini termasuk salah satu umbi-umbian yang tidak rewel. Bahkan tanaman ini bisa hidup di bawah pohon.
“Ini sebenarnya salah satu jalan keluar jika tidak salah mengurus. Porang bisa ditanam masif. Indonesia kan punya lahan-lahan rusak. Untuk membangun pertanian salah satunya bisa porang,” katanya.
Beragam pangan bisa diolah dengan bahan baku porang, misalnya mi kering sampai beras porang. Porang juga bisa untuk bahan komestik. Selain itu, porang juga mengandung karbohidrat, kaya akan kalsium yang juga bagus untuk makanan bayi.
Porang pun diklaim mampu menjadi makanan pengganti air susu ibu (MPASI). Kandungan kalsium porang dapat mempercepat pertumbuhan gigi, menghaluskan kulit, dan menumbuhkan rambut.
Tetapi pengelolaan porang harus bersih dan aman. Karena tanaman ini mengandung sianida tinggi alias beracun.
“Ambil umbinya, dibersihkan. Setelah itu diparut. Ambil patinya. Kemudian direndam air. Diganti 12 jam satu kali selama tiga hari. Harus tiga kali membuang air, tiga kali membuang racun. Setelah diendapkan di berkali-kali airnya dibuang, itu dikeringkan. Baru setelah itu bisa jadi tepung,” paparnya.
Ditemukan oleh Jepang
Tidak ada bukti sejarah yang pasti mengenai pemamfaatan tanaman porang oleh masyarakat Indonesia. Menurut Guru Besar sekaligus Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Edi Santosa S.P, M.Si, beberapa referensi hanya menyebut porang pada awalnya merupakan tanaman hutan.
Pada tahun 1942, barulah pemamfaatan porang di mulai sejak masa penjajahan Jepang. Sebelumnya, Jepang telah membudidayakan jenis Amorphophallus lainnya, tepatnya A. konjac di negaranya. Saat menjajah Indonesia, Jepang menemukan porang (A. mulleri) di Indonesia.
Jepang melihat tanaman ini mirip dengan A. konjac, karena itu mereka memanfaatkan porang sebagai logistik pangan selama menduduki Indonesia. Sedangkan para petani Indonesia belum tahu manfaat porang.
“Sayangnya, catatan sejarah kita terputus. Catatan yang ada itu masyarakat kita dulu sudah mengonsumsi porang, tetapi belum diketahui sejak kapannya,” ucapnya dalam Kompas.
Tanaman ini juga menyebar luas di wilayah Sulawesi Selatan. Daerah ini pernah diduduki tentara Jepang. Namun setelah bala tentara Jepang kalah perang, masyarakat tidak lagi memperdulikan tanaman tersebut.
Porang pun tumbuh di hutan-hutan sebagai tanaman liar. Edi menyatakan tanaman porang baru mulai intensif dibudidayakan sejak tahun 1980-an.
Perhutani mulai mempromosikan porang ke Cepu untuk ditanam di bawah tegakan tanaman jati. Pasalnya, tanaman ini dapat ditanam di mana saja. Asalkan tanahnya gembur, tidak terlampau basah, tidak terlalu kering, dan tidak terkontaminasi infeksi.
Tanaman ini juga bisa tumbuh di bawah naungan maupun di lahan sawah terbuka. Sedangkan, perawatan porang pun tidak memerlukan penyemprotan disinfektan secara rutin. Pemupukan pun cukup dilakukan sekali selama masa tanam di masa kemarau.
Jika musim kemarau telah berlalu dan petani tidak sempat memanennya pada musim hujan, tanaman porang akan layu dan seolah mati. Padahal, pada musim kemarau periode berikutnya, jika dipupuk dan dibersihkan rumput atau alang-alang disekitar tanaman, porang masih akan tumbuh dan berbuah lagi.
“Makannya kalau tidak sempat panen, bisa sampai tiga tahun ke depan, itu nanti hasilnya gedhe (besar umbinya) kalau dirawat,” terang Edi.