Rempah-rempah diperkirakan sebagai komoditas yang menghadirkan beberapa suku bangsa di sekitar Sungai Musi dan anak-anaknya, pada era Kedatuan Sriwijaya hingga pemerintah Hindia Belanda.
Kini masyarakat yang menetap di Sungai Musi dan delapan anaknya berasal dari berbagai suku bangsa di Nusantara yang berbaur dengan masyarakat lokal dan melahirkan beberapa suku.
Sementara itu, Suku Kubu dan Suku Anak Dalam (SAD), menjadi suku asli di huluan Sungai Musi yang hingga saat ini mencari rempah-rempah di hutan, seperti terus buah jernang (Daemonorops sp).
Ada juga kisah para perompak yang diyakini membaur dengan masyarakat di sekitar Sungai Musi dan anak-anaknya. Pembauran ini melahirkan keharmonisan yang tercermin dalam sejumlah produk budaya.
Lalu bagaimana rempah-rempah berperan dalam melahirkan perabadan di sekitar Sungai Musi? Bagaimana juga setiap suku ini melakukan harmonisasi agar tidak terjadi konflik antara satu dengan yang lainnya, berikut uraiannya:
1. Rempah-rempah awal peradaban
Sungai Musi bersama delapan anaknya, didiami berbagai suku. Hampir semua suku yang terdapat di Sungai Musi merupakan pembauran antara masyarakat pendatang dan lokal yang datang sejak ratuan tahun lalu. Rempah-rempah disebut sebagai alasan suku bangsa ini memilih datang dan menetap di berbagai wilayah di Sungai Musi.
Rempah-rempah tersebut mulai dari jernang (Daemonorops sp), damar (Agathis dammara), pinang (Areca catechu), gaharu (Aquilaria malaccensis), kemenyan (Styrax benzoin dryand), gambir (Uncaria gambir roxb), hingga lada (Piper ningrum). Berbagai suku ini datang sejak masa Sriwijaya, Majapahit, Kesultanan Palembang, hingga pemerintah Hindia Belanda.
“Bahkan gelombang kedatangan ini terus berlangsung hingga pemerintah Indonesia, misalnya dalam program transmigran,” terang Retno Purwanti, arkeolog dari Balai Arkeolog (Balar) Sumatra Selatan (Sumsel) yang disadur Mongabay Indonesia.
Penelitian Balar Sumsel menemukan ada tujuh bahasa di Sumsel yakni Melayu, Komering, Ogan, Lematang, Kayuagung, Jawa, dan Pedamaran.
Bahasa ini dituturkan pada sejumlah suku yang hidup di sekitar Sungai Musi dan anak-anaknya yang di hidup di wilayah ini. Beberapa nama terkait rempah-rempah juga memiliki kesamaan, salah satunya damar.
2. Hidup Harmonis
Pada zaman pemerintah Hindia Belanda, berbagai suku bangsa mulai berdatangan ke Palembang. Mereka dibagi menjadi tiga kelompok etnis, yakni Arab (Yaman), China. dan India.
Para pendatang baru ini ditempatkan di berbagai kampung yang berada di Palembang Ulu atau Palembang Iilir. Setiap kelompok pendatang ditunjuk seorang kapten sebagai pemimpinnya.
“Meskipun mereka berbeda kampung, tetapi hubungan terjalin harmonis. Hingga saat ini belum pernah terjadi konflik antarsuku atau etnis di Palembang. Termasuk konflik agama atau kepercayaan. Banyak masjid tua yang berdekatan dengan klenteng. Berbagai produk budaya pun dilahirkan dari pembauran ini. Mulai dari seni, kuliner, arsitektur rumah dan lainnya,” kata Henny Yusalia, peneliti komunikasi budaya dari UIN Raden Fatah Palembang.
Misalnya pempek, makanan ini menggunakan teknik pembuatan makanan China, tetapi bahan bakunya dari lokal, serta menggunakan rempah atau bumbu yang biasa digunakan masyarakat China, Jawa, dan Melayu. Makanan ini kaya dengan rasa, seperti gurih, asam, manis, dan pedas. Makannya pempek selalu menjadi menu dalam berbagai perayaan agama.
Sedangkan Suku Kubu atau Suku Anak Dalam (SAD) mengaku berasal dari Sungai Rawas dan Sungai Rupit, merupakan keturunan suku ini yang masih hidup di wilayah ini.
Bedasarkan bukti arkeologi, di wilayah hulu Sungai Rawas telah didiami manusia purba sejak ribuan tahun lalu. Mereka terhubung dengan manusia yang pernah hidup di hulu Sungai Batanghari dan Kerinci, Jambi.
Suku Kubu, Suku Melayu tertua di Sumsel, hingga saat ini masih mencari buah rotan jernang atau dikenal dragon’s blood yang resinya dimanfaatkan sebagai dupa, pewarna dan obat tradisional. Resin jernang ini merupakan komoditas terkenal di masa kedatuan Sriwijaya, seperti dijadikan dupa dan pewarna.
3. Sriwijaya mengelola perompak
Kemampuan Sriwijaya untuk mengendalikan bajak laut juga berperan menjadikan pelayaran aman dan nyaman. Bahkan Sriwijaya bisa mengelola bajak laut menjadi kekuatan guna menguasai lautan terutama di Selat Malaka, Selat Bangka, hingga Selat Karimata dan Selat Sunda. Hal ini membuat Sriwijaya mendapat pengakuan kedaulatan dari mancanegara.
Menurut Conie Sema, pekerja seni dan budaya dari teater Potlot, kehadiran para perompak itu merupakan hal yang wajar. Hal ini menunjukan Palembang dan wilayah sekitarnya merupakan daerah yang kaya dengan perdagangan rempah-rempah. Wilayah ini menarik banyak orang bukan hanya saudagar, pedagang, intelektual, tokoh agama, juga para perompak.
“Jadi, kehadiran perompok tersebut membuktikan pada masa lalu Palembang membuktikan dan sekitarnya merupakan kawasan ramai oleh perdagangan, termasuk rempah-rempah yang menarik perhatian banyak suku bangsa dengan beragam profesinya,” katanya.
Conie menyakini jika para perompak ini membaur dengan sejumlah suku di Sumsel dan melahirkan keturunan. Hal ini bisa dilihat dari kisah-kisah jagoan pada sejumlah kelompok masyarakat.
Namun kemampuan Sriwijaya untuk mengelola atau mengatur para perompak menjadi sebuah kekuatan, merupakan pelajaran yang berharga.
“Pada masa apa pun, termasuk hari ini, bandit akan selalu hadir. Ada gula, ada semut. Beragam semut yang datang,” ujarnya.
Foto:
- Widi Soetardjo (Flickr)
- Belanga Indonesia (Flickr)
- Dondo4253 (Flickr)
- Eko Wahyu Pribadi (Flickr)