Selain masa pandemi yang menciptakan perubahan ekonomi dan sosial di tahun, satu lagi masalah muncul soal penanganan limbah masker yang selalu digunakan masyarakat. Baik itu masker sekali pakai atau masker kain yang bisa dipakai ulang.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali mengingatkan untuk mengantisipasi sampah medis bahan berbahaya dan beracun (B3) dari pasien isolasi mandiri (isoman) virus corona (Covid-19).
Sampah yang masuk dalam kategori B3 tersebut disarankan tidak dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), tapi pada tempat pembuangan khusus.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Siti Nurbaya, mengatakan pemerintah sudah menyiapkan titik penampungan limbah medis untuk pasien infeksi Covid-19 yang melakukan isolasi mandiri.
Siti mengatakan, upaya ini dilakukan untuk memastikan limbah medis yang dihasilkan dari pasien isoman dapat terkendali, serta bisa diawasi hingga ke tempat pemusnahan limbah medis khusus tersebut.
Sementara Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi bakal mengupayakan strategi untuk memastikan limbah terangkut dengan aman dari rumah warga sampai ke tempat pemusnahan.
Masker jadi limbah terbanyak
Jumlah limbah medis selama pandemi Covid-19 ini boleh dibilang cukup meningkat drastis. Masker bekas merupakan salah satu produk limbah dengan jumlah paling mendominasi. Jika satu masker saja memiliki berat 4 gram, artinya jika dihitung dari separuh populasi Indonesia memakai satu masker sekali pakai, maka limbahnya bisa menembus angka 500 ton.
Peningkatan limbah medis juga terekam untuk setiap daerah. Di Jawa Barat misalnya, jumlah limbah medisnya naik dari 74,03 ton (Maret 2021) menjadi 836,95 ton (Juli 2021). Pendek kata, ada kenaikan jumlah limbah medis lebih dari 10 kali lipat di Jawa Barat dalam kurun waktu hanya 4 bulan.
Sementara itu di Jawa Tengah, kenaikan jumlah limbah medis tercatat 5 kali lipat. Dari 122,82 ton (Maet 2021) menjadi 502,4 ton (Juli 2021).
Kenaikan signifikan soal limbah medis ini juga terjadi di DKI Jakarta. Jumlah limbah medis di ibu kota tercatat sebanyak 10.939 ton (Juli 2021), naik drasti dari sebelumnya yang tercatat 7.496,5 ton (Maret 2021).
Harus dibakar
Menyikapai catatan-catatan tadi–dari masing-masing wilayah kabupaten/kota/provisni–Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Wonogiri, Bambang haryanto mengatakan bahwa sampah infeksius pasien isoman harus dibakar.
Bambang juga risau bahwa minimnya pengetahuan masyarakat–khususnya pasien isoman–tentang pengelolaan sampah infeksius, akan menjadi masalah baru.
“Harus dibakar sendiri. Pada pedoman isolasi mandiri sebenarnya sudah kami sosialisasikan. Tapi mungkin ini tidak sampai ke rumah tangga atau memang ada yang tidak paham pasien isoman itu kalau sampah infeksius harus dibakar sendiri,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Limbah/sampah infeksius dari para pasien yang dirawat atau melakukan isolasi di rumah sakit dan tempat isolasi terpusat, lanjutnya, sudah dikelola oleh dinas terkait, sehingga dapat meminimalisir penyebaran virus dan penularan penyakit. Tetapi bagi pasien isoman, sampah infeksius harus dibakar sendiri.
“Pengelolaan sampah infeksius ini sudah ada SOP-nya dan itu koordinasi antara rumah sakit itu sendiri, dinas kesehatan, dan dinas lingkungan hidup. Tetapi untuk yang isoman, harus dibakar sendiri, jangan dibuang ke TPS (tempat pembuangan sampah) karena ada resiko penularan, apalagi kalau sampah ini tidak diplastik, tidak diikat rapat dalam plastik itu, dan hanya dibuang begitu saja. Kalau diambil tukang sampah juga ada resiko penularan lagi,” paparnya.
Bambang berharap, informasi ini dapat dilakukan berkesinambungan sebagai pengingat masyarakat, sehingga bisa bermanfaat dan disebarluaskan untuk menambah pengetahuan masyarakat terkait pengelolaan sampah bagi mereka pasien isoman di rumah.