Cara unik masyarakat Bajo jaga kemolekan Pulau Sombori

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Pulau Sombori (Derek/Flickr)

Di balik kemolekan Sombori, Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia
menyimpan kisah tentang orang Bajo dan lautnya. Mereka percaya samudera dijaga para leluhur yang bersemayam di sana.

Masyarakat Bajo dahulu sering melakukan pongka, mencari hasil laut di daerah lain selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Tetapi kini mereka tak lagi melakukan pongka hanya melakukan palilibu atau melaut jarak dekat.

Lalu bagaimana tradisi masyarakat Bajo merawat laut? Apa yang membuat masyarakat Bajo menjaga hal ini? Berikut uraiannya:

1. Merawat laut

Pulau Sombori (Derek/Flickr)

Di balik kemolekan Sombori, Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia
menyimpan kisah tentang orang Bajo dan lautnya. Mereka percaya samudera dijaga para leluhur yang bersemayam di sana.

Ganefo, walau orang Bugis, nelayan ini sudah lama tinggal di Pulau Sombori. Dirinya memahami adat budayanya, termasuk pantangan saat melaut. Sebagaimana pelaut Bajo, Ganefo meyakini tak boleh membuang benda tertentu ke samudra.

“Misalnya ampas kopi, air cucian beras, dan kulit jeruk. Pemali ini bila dilanggar bisa membuat tuan laut murka,” ucapnya.

  Cerita Kota Cengkeh yang kerap menyelamatkan petani

Masyarakat Bajo percaya ada tiga penguasa laut yang ditakuti, Mbo Tambirah. Sangan Ponggai, dan Daeng Lumalu. Makhluk halus terakhir berwujud seekor gurita. Bahkan jelas Ganefo, bila disebut namanya dia akan muncul dan ikut di buritan kapal.

Dalam kepercayaan, loo atau laut adalah tempat bersemayam nenek moyang mereka disebut Mbo Madilao, secara harfiah nenek di laut. Ada tujuh mbo yakni, Mbo Janggo, Mbo Tambirah, Mbo Buburra, Mbo Marraki, Mbo Malummu, Mbo Dugah, Mbo Goyah.

“Mbo Tambirah adalah yang saya takuti,” ucapnya.

2. Teguran dari penjaga laut

Pulau Sombori (Derek/Flickr)

Masyarakat Bajo dahulu sering melakukan pongka, mencari hasil laut di daerah lain selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Tetapi kini mereka tak lagi melakukan pongka hanya melakukan palilibu atau melaut jarak dekat.

Tradisi pongka memang berangsur-angsur ditinggalkan seiring dengan makin lazimnya penggunaan perahu bermesin yang disebut ketinting. Walau begitu orang Bajo tetap menangkap ikan dengan kail, jaring hanya untuk menjala ikan kecil buat umpan mancing.

Tetapi pada waktu nahas, nelayan pulang dengan tangan kosong. Bila terjadi dua-tiga kali berturut, berarti ada yang tak beres. Hal ini dipercaya oleh masyarakat Bajo sebagai teguran dari penjaga laut.

  Cerita mutiara yang pernah bawa kejayaan masyarakat Kepulauan Aru

“Itu teguran dari penjaga laut,” kata Nurjiah seorang dukun atau sandro.

Dalam bahasa Bajo, teguran dari penjaga laut disebut ta sasapa. Untuk melunakkan hati Mbo Madilao, orang Bajo menggelar maduai pinah atau turun pinang. Ritual melarungkan pinang ke laut ini dipimpin seorang sandro.

3. Menyebut kualitas ikan

Pulau Sombori (Derek/Flickr)

Uda bersama istrinya Rukayah serta kedua putranya hidup di atas leppa, perahu kecil tanpa mesin. Mereka tidur, memancing, dan membuat tungku di atas sampan. Rumah keluarga Udin tanpa dinding bilik.

Bersama keluarganya, Udi tiba di kawasan Sombori dari kawasan Morombo, pesisir Konawe Utara, Sulawesi Tenggara untuk mencari ikan. Sejak itu dia dan keluarganya hidup di perairan antara Mbokitta dan Dongkalan.

Dirinya menangkap apa pun yang bisa didapat mata pancingnya. Sesekali dia menyelam untuk merombak gurita. Hasil laut segar itu kemudian dijual kepada pengepul. Ikan Udin, dihargai Rp4.000 per kilogram.

Orang Bajo punya istilah untuk menyebut kualitas ikan tangkapan. Sekali mati artinya baru mati di tangan nelayan. Dua kali mati, berarti ikan sudah di tangan pengepul kecil, demikian seterusnya.

  SPS Warloka, titik pengelolaan sampah terintegrasi di Labuan Bajo

“Sampai di makan orang Jakarta, ikan itu sudah berkali-kali mati,” ujar Haji Aco, seorang Bajo.

Sombori, kini dikenal sebagai kawasan konservasi yang menghimpun puluhan pulau daru Umbele sebelah Kaleroang di utara hingga Dongkalan di selatan, dari Lembolero di pesisir Sulawesi hingga Stagal di bagian timur.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata