Hari Bumi dan sosok perempuan sebagai penjaga kemakmuran lingkungan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Maisa petani (instagram @maisapetani)

Alam dan perempuan mempunyai masalah yang sama pada setiap zaman, keduanya hidup dalam dunia marjinal. Mungkin tidak bermaksud untuk mendiskriminasi, namun kepentingan keduanya terkadang jarang dibahas dalam konteks yang lebih luas.

Dalam tradisi masyarakat Asia, alam terutama bumi selalu disimbolkan feminim sebagai bentuk kesuburan. Karena itulah muncul kepentingan perempuan untuk berperan lebih jauh, setidaknya yang mendasari munculnya gerakan ekofeminisme.

Lalu bagaimana perempuan yang selalu dijadikan simbol bumi? Dan apa pemaknaan dari hari bumi untuk perempuan? Berikut uraiannya:

1. Perempuan sebagai simbol bumi

Maisa petani (instagram @krips21)

Peran perempuan dalam menjaga ekologi sering disimbolkan dalam sosok dewi, Masyarakat Jawa misalnya memaknai bahwa dewi sebagai sumber penjaga ekosistem dalam siklus ekologi. Bahkan sejak berabad lamanya, perempuan telah bertindak sebagai penyedia kehidupan.

Karena itu dalam kebudayaan Timur khususnya di Jawa tidak heran ada sosok Dewi Sri yang tugasnya mengatur ketersediaan pangan dan kemakmuran. Sistem pangan dibuat bedasarkan siklus ekologi sehingga mampu berproduksi sendiri dan berkelanjutan.

Candraningrum mengilustrasikan bahwa tanah dianggap sebagai ibu, terdhak siti, yang dihargai dan dihormati, sebagai wujud ibu, kelak anak-anak dilepaskan menuju rahim tanah, rahim bumi. Bumi sebagai organisme dan makhluk hidup.

  Budaya perburuan paus di Lamalera dan upaya agar populasi tetap lestari

“Perihal ini berbeda dengan pradigma modern yang menganggap bumi bagian dari kapital yang dianjurkan untuk di eksploitasi semaksimal mungkin,” ucapnya. 

Karena itu, rahim seagai metafora dari ibu membuat pemulihan krisis ekologi menjadi keharusan dan penting. Hal ini dalam upaya mempertahankan dan melindungi bumi sebagai perwujudan terra mater (di dunia Hindu disebut Dewi Bhumi) dari kerusakan yang sedemikian parah.

2. Perempuan dan pangan

Sejak berabad lamanya perempuan bertindak sebagai penyedia kehidupan. Mereka berhasil memastikan keamanan pangan dalam sebuah keluarga dan masyarakatnya. Perempuan dianggap sebagai pemelihara kehidupan yang memiliki kemampuan dalam memproduksi dan mereproduksi kehidupan.

Kaum perempuan memiliki prinsip lestari dan keberlanjutan. Di mana mereka memainkan peran dalam usaha menjaga keberlanjutan dan keahliannya sebagai penyedia sumber pangan. Namun sistem ketahanan pangan ini semakin terdesak dan terpinggirkan dengan hadirnya pertanian ilmiah yang membawa gangguan siklus ekologi.

Renal Rinoza dalam Perempuan dan Lingkungan: Memahami Bumi sebagai Kerahiman, Suatu Upaya untuk Kembali Pulang ke Rahim Ibu Pertiwi menyebut pertanian tidak lagi sebagai kegiatan pemeliharaan modal alam berupa tanah subur serta menyediakan pangan dan gizi masyarakat, namun hanya sebagai produksi untuk laba.

  Nineveh, kota kuno pertama dan termegah di dunia

Perubahan dalam sifat kegiatan ini, jelasnya, menyebabkan alam, perempuan dan petani kecil tidak lagi dilihat sebagai produsen utama pangan. Masuknya konsep pertanian ilmiah membuat perempuan menjadi sangat rentan bahkan berpotensi terjadinya kelaparan.

“Perempuan mungkin memiliki tanggung jawab atas penyediaan pangan di dalam rumah tangga, namun bertanggung jawab tetapi tidak memiliki kontrol atas pangan itu sendiri, yang mungkin sebenarnya berada di tangan laki-laki,” ujarnya.

3. Perempuan penjaga alam

Ilustrasi petani perempuan (razqa hadi/Flickr)

Peran perempuan dalam mitigasi perubahan iklim gaungnya makin mengemuka belakangan ini, karena posisi kuncinya dalam beragam dimensi. Isu-isu ketahanan pangan, akses terhadap pangan, dan stabilitas pangan merupakan modal ekologi yang dimiliki perempuan.

Di berbagai belahan bumi dapat ditemukan agensi perempuan dalam memulihkan krisis ekologi dan mempertahankan sumber kehidupannya dari kerakusan kapital. Di India, ada gerakan Chipko, sebuah gerakan penyelamatan pohon-pohon keramat yang hendak ditebang dengan cara memeluknya.

“Gerakan Chipko menjadi ikonik karena disitulah pemahaman ekologi dan keberanian perempuan mempertahankan sesuatu yang akan dikeramatkan, yakni pohon khejri, sebagai simbolisasi penting dari etika kerahiman,” jelas Renal.

  Kisah Novilla Aru, penggerak komunitas perempuan adat di Papua

Di Indonesia juga ada gerakan serupa dari ibu-ibu Rembang, Jawa Tengah dalam mempertahankan tanah mereka dari amuk kapital yang semakin brutal.  Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih adalah “rahim” bagi perempuan-perempuan pegunungan Kendeng yang senantiasa memberikan mereka kehidupan.

Peran perempuan Dayak Mali dalam menjaga alam juga ibarat ibu merawat anak. Terdapat ikatan psikologis yang kuat antara perempuan dan alam, di mana adat dan budaya lama masih dipertahankan. Tradisi ini menyelamatkan sekitar 7.269 hektare tanah adat.

“Tradisi seperti ini, secara tidak langsung menjaga keseimbangan ekosistem alam, manusia menghormati alam; menjaga hubungan baik dengan alam. Maka, tak dapat dimungkiri tradisi merupakan konsep perlindungan hutan yang paling sederhana,” jelas Kiswanto dalam Perempuan Penjaga Bumi.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata